”Mewujudkan Partisipasi Publik Dalam Penyusunan Legislasi”

Sambutan

Konsultasi Publik dan Lokakarya RUU Administrasi Pemerintahan

Hotel Sofyan Betawi
Jakarta, 29 November 2006


Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang saya hormati,
Wakil dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Pihak yang mewakili GTZ-Support for Good Governance.
Para narasumber dan fasilitator, perwakilan Organisasi Non Pemerintah yang menjadi partisipan dalam acara Konsultasi Publik dan Lokakarya hari ini,

Syukur Alhamdulillah, kita bisa bersama-sama hadir dalam acara Lokakarya dan Konsultasi Publik hari. Acara ini semata-mata berangkat dari keinginan untuk mewujudkan partisipasi publik dalam proses legislasi, khususnya dalam Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

Satu hal mendasar yang melatarbelakangi penyusunan RUU ini adalah berangkat dari satu pertanyaan, yaitu: ”Dapatkah negara mewujudkan peran asasinya yaitu sebagai pihak yang mewakili publik, tidak mencederai, serta melindunginya dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan semata”. Menurut saya, pertanyaan ini menjadi sedemikian relevan untuk diajukan guna menguji, apakah RUU ini nanti dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Setelah sekian puluh tahun kita merdeka, bersama-sama membangun komitmen untuk mendewasakan bangsa ini, justru yang kita hadapi adalah sekian peristiwa yang tak terhitung lagi jumlahnya, drama perih yang harus diterima publik atas segala konsekuensi kekuasaan semata.


Lemahnya Manajemen Pemerintahan
Setidaknya, ada beberapa peristiwa aktual yang dapat saya ajukan guna mendukung hipotesis saya di atas. Pertama, penanganan bencana yang dalam kurun dua tahun ini mendera bangsa kita, dengan berbagai pengingkaran atas janji yang sebelumnya telah dinyatakan oleh wakil pemerintah kepada pengungsi dan korban. Kedua, fenomena penggusuran yang tidak lagi terjadi sekedar di Jawa. Tetapi mulai menyebar ke berbagai penjuru Indonesia (Padang, Medan, Manado, Makasar, dan seterusnya), dengan berbagai peristiwa kekerasan yang melatarinya. Ketiga, penanganan bencana lumpur panas Lapindo Brantas, yang hingga hari tidak juga tuntas. Alih-alih realisasi relokasi terpenuhi, malah sebaran lumpur panas makin meluas dan tidak kunjung tertanggulangi, bahkan beberapa titik baru semburan lumpur panas yang muncul. Keempat, data kemiskinan yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan, namun disampaikan secara berbalik. Terdapat sinyalemen bahwa terjadi ‘intervensi’ oleh pemerintah atas data akurat yang seharusnya dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan yakni BPS.

Dari empat ilustrasi di atas, apa yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan adalah; pengingkaran atas janji, penggunaan kekerasan, ketidaktegasan dari pemegang mandat kekuasaan, dan internal pemerintahan yang penuh dengan persilangan kepentingan pribadi maupun golongan. Hanya itu, tidak lebih.

Lantas apa perlindungan negara ketika publik dicederai hatinya oleh janji-janji yang tidak pernah ada realisasi, atau fisiknya oleh pentungan dan gas air mata aparat ketika menggusur rumah/tempat berdagang mereka. Secara telanjang, publik/masyarakat menyaksikan bahwa pemerintah yang berkuasa, hanya sekedar mengejar kepentingannya sendiri. Bukan memperjuangkan kepentingan masyarakat luas, khususnya masyarakat korban. Ini menandakan bahwa, begitu banyak pihak yang bekerja atas nama pemerintah, namun yang justru kita tonton adalah drama tentang absennya pemerintah. Secara fisik pemerintah ada di sana, tetapi tanpa menunaikan fungsi-fungsi asasinya secara memadai.

Negara Versus Pemerintah
Lantas dimana negara berada pada saat publik yang harusnya dilindungi dari segenap potensi kesewenang-wenangan kekuasaan berlangsung. Apakah dengan demikian dapat dinyatakan bahwa, negara yang secara operasional dijalankan oleh administrasinya telah ‘gagal’ mengemban misi utamanya. Seperti kita ketahui melalui paparan di atas, fakta menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pihak yang kita harapkan dapat memecahkan berbagai persoalan yang menimpa publik, ternyata hanyalah pihak yang berusaha mempertahankan kekuasaannya saja. Pemerintah, secara internal dipenuhi oleh kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Di satu sisi, mengemban mandat penegakan hukum, namun enggan menerapkannya pada kelompok-kelompok yang dulu memberi dukungan. Pengentasan kemiskinan, sebagai mandat yang lain ternyata program-program yang dijalankannya justru semakin menambah jumlah angka penduduk miskin di Indonesia.

Setelah mengetahui itu semua, lantas pada siapa publik dapat menyerahkan kepercayaannya. Kita mungkin sering memiliki persepsi bahwa pemerintah dan negara adalah sama, mereka menjelma ke dalam satu institusi. Padahal dibanyak negara yang menerapkan sistem hukum modern, negara menjadi pihak yang mewakili kepentingan publik. Tidak jarang dan seharusnya memang begitu, bahwa negara menjadi pihak yang berhadap-hadapan dengan pemerintah ketika terdapat suatu kebijakan yang dapat merugikan publik. Seperti apa yang diungkap oleh Dr. Risa Permanadeli (Kompas Sabtu 29 Juli 2006, hal 4 kolom Sosok dan Pemikiran), “Pemerintah dan Negara tidak satu. Negara harus berhadapan dengan kekuasaan (Pemerintah). Pemerintahnya bisa ganti-ganti, tetapi Negara tetap. Ia mewakili kepentingan seluruh elemen masyarakat”.

Negara sebagai Wakil Publik
Negara melalui administrasinya (pegawai negeri sipil) justru menjadi pihak yang seringkali menghindarkan publik dari berbagai beban atas suatu kebijakan. Administrasi negara menjadi pihak yang secara adil dan transparan menjembatani pertentangan kepentingan antara pemerintah dengan publik. Administrasi negara, pada batas-batas tertentu memiliki kewenangan untuk secara otonom dalam mengambil keputusan tanpa dapat di intervensi oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Sebagai contoh: keputusan pemberian suaka bagi 42 orang warga Papua oleh DIMA (Departemen Imigrasi Australia), menjadi fakta yang jelas betapa prosedur dan kewenangan yang dimiliki oleh DIMA dihormati dan tidak dapat diintervensi oleh kepentingan politik apapun, termasuk Perdana Menteri John Howard. Meskipun pada saat itu, terjadi ketegangan politis antar dua negara, dimana pemerintah Indonesia melakukan protes kepada pemerintah Australia. Yang terjadi di Indonesia, adalah sebaliknya dimana data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) tidak kuasa menolak intervensi pemerintah.

Seharusnya administrasi negara berlaku otonom, tanpa menunggu instruksi dari pemerintah. Misalnya pada saat penanganan bencana (baik tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir lumpur panas). Tanpa harus menunggu instruksi menteri atau presiden sekalipun, administrasi negara (instansi teknis; Satkorlak dan dinas-dinas terkait), secara otomatis mengambil tindakan-tidakan yang dapat secara efektif menanggulangi bencana. Namun, yang kita saksikan justru pejabat-pejabat pemerintah silih berganti mendatangi daerah bencana dengan berbagai media yang meliputnya, sekedar untuk mendapatkan publisitas semata. Kedatangan para pejabat di daerah bencana diiringi berbagai janji, untuk segera menangani masalah yang ada secara tuntas. Namun, janji tinggal janji, fakta di lapangan menunjukkan bahwa antar pejabat dan instansi lemah koordinasi. Kalau tidak, birokrasi yang ada tidak menjalankan tugasnya secara efektif dengan dalih masih menunggu dan belum ada instruksi. Padahal, birokrasi sebagai administrasi negara harusnya otonom melakukan perencanaan dan penanganan bencana secara efektif. Tanpa harus menunggu instruksi menteri (pejabat politis) ataupun presiden.

Esensi Good Governance; Kepentingan Publik Sebagai Orientasi Kebijakan
Perumusan dan pengelolaan kebijakan dewasa ini menuntut perubahan orientasi. Dari sekedar otoritas dalam melakukan alokasi dan distribusi sumber daya, menjadi berorientasi pada kepentingan publik atas suatu kebijakan. Fenomena lemahnya koordinasi antar instansi, balas pantun antar pejabat, dan lemahnya penegakan hukum dalam penanganan kasus-kasus di atas. Setidaknya menyadarkan kepada kita bahwa pemerintah dapat dikatakan gagal dalam memprioritaskan kepentingan publik yang harus diselamatkan. Demikian juga dengan, dalih kepentingan umum yang seringkali dipakai sebagai argumentasi, untuk membenarkan dilakukannya penggusuran dengan berbagai tindakan kekerasan.

Bukankah syarat dari negara hukum modern sekarang, berorientasi pada penggunaan prinsip-prinsip good governance sebagai landasan kerja negara-bangsa. Berbagai prinsip tersebut, saya yakin sudah kita kenal dan sering kita dengar, terutama bagi para penggiat demokrasi. Tetapi, pada tingkat operasional pemerintahan, paradigma tersebut masih jarang kita saksikan. Dasar kepentingan umum yang digunakan pada penggusuran PKL (pedagang Kaki Lima) sebagai contoh. Publik (dalam hal ini PKL), yang karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja membuat mereka secara kreatif mencari penghidupan tanpa mengandalkan pemerintah, justru menjadi pihak yang seringkali dirugikan. Dalih mengganggu ketertiban dan kepentingan umum menjadi dasar kuat bagi penggusuran atas kelompok ini. Padahal, bukankah kepentingan umum harusnya dapat dikenali secara lebih jelas dan bijak. Misalnya, bila terjadi penggusuran PKL maka mengakibatkan sejumlah orang yang dulunya bekerja menjadi kehilangan pekerjaan. Kepentingan umum yang seharusnya berlaku adalah akan ada sejumlah orang penganggur beserta keluarganya, yang harus menjadi beban anggaran negara. Namun, logika kepentingan umum ini justru absen dalam pertimbangan kebijakan dan penerapan eksekusi penggusuran.

Begitu juga asas kepercayaan yang tidak pernah dikenalkan baik konsep maupun aplikasinya. Asas ini mengasumsikan bahwa, jika muncul kebijakan baru maka kebijakan tersebut tidak berlaku surut. Hal ini memberikan insentif kepada publik untuk percaya terhadap suatu peraturan. Misalnya pada kasus PKL, setelah sekian waktu mendiami suatu lahan tanpa adanya larangan, bahkan tidak jarang diiringi penarikan retribusi. Maka asas kepercayaan yang berlaku adalah, publik percaya kepada negara, bahwa negara menganggap tindakan publik itu benar.

Oleh karena itu administrasi negara harusnya tidak sekedar berpikir dan mengambil tindakan untuk menggusur. Tetapi secara aktif mencarikan peluang melalui pemberian informasi yang cukup, agar para PKL dapat mengajukan pengurusan statusnya secara legal. Apabila dikemudian hari dibuat suatu kebijakan, PKL tidak serta merta dianggap ilegal dan patut digusur. Posisi ini membuat status PKL lebih setara dalam mencari titik temu dengan kebijakan yang dibuat oleh negara. Dan lebih penting lagi administrasi negara (dinas tramtib/pemda) benar-benar dapat menjadi wakil/abdi publik, dan secara otomatis menghindarkan publik dari potensi kesewenang-wenangan kekuasaan. Bukan seperti sekarang ini, dimana mereka seringkali terlihat garang ketika berhadapan dengan publik, seolah publik adalah lawan mereka. Ditengah segala kewenangan yang melekat pada diri birokrasi, maka apabila kewenangan tersebut digunakan secara optimal maka otomatis memperlihatkan bahwa, negara sama dengan mewakili kepentingan publik. Dengan kata lain aparat negara adalah abdi publik.

Secara esensi, prinsip-prinsip transparansi, penegakan hukum, akuntabitas, partisipasi publik dalam good governance akan dapat benar-benar terwujud melalui kesetaraan posisi antara publik dan negara. Bukankah good governance adalah tata kelola suatu pemerintahan, dimana muncul kepercayaan dari masyarakat terhadap otoritas yang dimiliki oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya, terjadi penghormatan atas hak-hak yang dimiliki masyarakat, untuk dipenuhi oleh pihak yang memerintah.

RUU Administrasi Pemerintahan; Kunci Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik dan Bersih
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih merupakan esensi dari good governance itu sendiri. Itu akan dapat tercapai apabila, terdapat keadaan dimana roda pemerintahan ditandai dengan absennya KKN, peningkatan mutu pelayanan publik, profesionalisme birokrasi yang arahnya sebagai abdi publik.

Di banyak negara yang menganut prinsip hukum modern, undang-undang prosedur administrasi negara/administrasi pemerintahan menjadi penentu utama, apakah negara tersebut berdasarkan kekuasaan semata atau tidak. Secara teknis-operasional, undang-undang prosedur administrasi ini merupakan tata krama negara ketika berhadapan dengan publik/masyarakat. UU prosedur administrasi ini menjadi perwujudan dari kongkretisasi prinsip-prinsip negara modern, termasuk di dalamnya adalah good governance.

Dengan prosedur administrasi, maka pemerintahan yang semata-mata berdasarkan kekuasaan secara otomatis akan terbatasi penggunaannnya. Kepentingan publik, bahkan individu menjadi prinsip utama dari bekerjanya suatu Administrasi Pemerintahan. Dengar Pendapat Pihak Yang Terlibat (pasal 19), Hak Melihat Dokumen Administrasi (pasal 20), dan Upaya Administratif (pasal 37) adalah sebagian instrumen yang dimiliki publik untuk menghindarkan diri dari kesewenang-wenangan. Prosedur administrasi ini mewujudkan hak nyata publik/individu, untuk secara sah berbeda pendapat atas suatu kebijakan yang dibuat oleh administrasi negara. Namun, publik juga harus memperhatikan ketentuan tentang Diskresi (pasal 1 ayat 8). Sebab, ketentuan ini berpotensi untuk mengecualikan hak-hak publik dalam pembuatan suatu keputusan administrasi.

Oleh sebab itu semua pihak harus menyadari bahwa negara kita sangat memerlukan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, yang saat ini sedang dalam pembahasan. Seyogianya Pemerintah dan DPR harus bersungguh-sungguh untuk membuat UU tersebut tidak dengan semangat setengah hati. Sementara itu publik harus memberi dukungan dan berkomitmen untuk mengawal, apakah hak-hak publik terakomodir dalam RUU tersebut. Terlebih penting lagi, apakah hak-hak tersebut dapat dikecualikan atau tidak.

Dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, maka salah satu prasyarat sistem administrasi yang mantap dapat terwujud dalam tata kelola pemerintahan NKRI.

Akhirnya, saya berharap agar forum ini dapat mengembangkan pikiran-pikiran konstruktif bagi kemajuan bangsa/negara khususnya bagi kemaslahatan rakyat yang masih menderita.

Sekian.
Terima kasih.
Wassalamualaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh



Ketua Dewan Pembina
KOMWAS PBB



H. Feisal Tamin

No comments: