EFEKTIVITAS KOMUNIKASI DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH

Oleh: Drs. H. Feisal Tamin



Good Governance
Sebagaimana dimaklumi pada pertengahan tahun 1980 berkembang konsep good governance, yang dirumuskan oleh World Bank sebagai “… the manner in which power is exercised in the management country’s economic and social resource for development…”. Sebenarnya konsep good governance sendiri telah dikembangkan oleh banyak penulis dengan berbagai argumentasi dan justifikasi, sehingga disebut sebagai a rather confusing variety of catchword, suatu konsep yang ‘has come to mean too many different things’.

Namun demikian, rumusan UNDP tentang GG agaknya banyak dipakai sebagai konsep rujukan oleh berbagai lembaga; negara/pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Bahkan Bank Dunia sebagai penggagas konsep GG juga mengalami tuntutan agar dilakukan perubahan dalam tingkat tata kelola internal dan reformasi kelembagaan (Pincus & Winters, 2004:31). Ini menunjukkan bahwa GG menjadi isu utama dalam tata kelola dan reformasi kelembagaan yang tidak saja berdimensi lokal, namun juga internasional. Rumusan konsepsi UNDP tentang GG sebagai hubungan sinergis dan konstruktif antara negara, sektor swasta, dan masyarakat, memiliki sembilan dasar karakteristik, yaitu:
1. Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
3. Transparency, dibangun atas dasar kebebasan mendapatkan akses informasi publik bagi masyarakat.
4. Responsiveness, lembaga-lembaga publik tanggap dan cepat dalam melayani stakeholder.
5. Consensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
6. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
7. Effectiveness and efficiency, pengelolaan sumber daya publik secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
8. Accountability, Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
9. Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. (Mardiasmo, 2004:24).

Kita tidak sedang membahas satu persatu, sembilan karakteristik tentang GG yang dirumuskan oleh UNDP, sebab isu tersebut dalam kurun waktu satu dasawarsa ini menjadi sedemikian populer dan menjadi kajian banyak pihak. Sebagai rujukan yang harus diemban oleh pemangku mandat dalam melakukan fungsi-fungsi pelayanan publik, pemerintah melalui Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberikan rumusan dan pengistilahan GG sebagai “… kepemerintahan yang baik dan mendefinisikannya sebagai penyelenggaraan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat”. (Riant Nugroho, 2004: 221).

Oleh karena itu untuk mempermudah konsepsi GG yang telah mengalami banyak pemaknaan, tidak berlebihan jika ditarik kesimpulan guna membatasi operasionalisasi konsep tersebut melalui pertanyaan; apakah pemerintah tahu apa yang harus dikerjakannya dan apakah pekerjaan tersebut dilaksanakan secara efisien? Jadi sebenarnya GG adalah masalah kepercayaan dan hal itu berkenaan dengan kontrol dan pengendalian atas segala sumber daya melalui kewenangan yang dimiliki, baik untuk mengalokasikan maupun mendistribusikannya.

Pertanyaan berikutnya bagaimana peran komunikasi sebagai kekuatan yang signifikan guna mewujudkan Good Governance. Untuk melihat itu semua, maka komunikasi yang bagaimana dapat secara efektif menjadi stimulus bagi perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih? Siapa saja aktor atau pelaku komunikasi dalam perwujudan pemerintahan yang baik dan bersih tersebut?

Efektivitas Komunikasi
Gelombang perubahan yang menandai kemajuan peradaban, dicerminkan oleh keadaan yang sarat dengan persaingan dan liberalisasi arus informasi; investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Pada sisi internal, pemerintahan juga akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society), yang juga berarti masyarakat yang banyak tuntutan (demanding community). Hal ini menjadi suatu konsekuensi atas pemenuhan yang memuaskan terhadap public services pemerintah, sebagai imbalan atas pajak yang telah mereka bayarkan. (Mardiasmo, 2004: 11).

Tuntutan berbagai pihak atas perbaikan serta peningkatan pelayanan publik dan penyingkapan informasi publik oleh demanding community, menjadi tema sentral dalam salah satu isu GG. Transparansi, akuntabilitas kelembagaan menjadi rujukan utama dalam rangka menjawab tuntutan yang saat ini sedang berkembang. Oleh sebab itu, efektivitas komunikasi saya angkat sebagai titik tekan dalam merespon tema ini.

Negara sebagai pengelola sumber daya diyakini memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan kekuasaan (abuse), baik terhadap informasi-informasi publik ataupun terhadap sumber daya. Hal ini dapat dibuktikan, tidak saja pada negara-negara yang berada dalam struktur tertutup (otoritarian), bahkan meluas juga pada negara-negara maju. Tuntutan keterbukaan oleh masyarakat diyakini dapat menjaga perilaku negara untuk tidak sewenang-wenang. Namun, meskipun negara memiliki potensi seperti yang telah disebutkan diatas, melalui birokrasinya negara tetap dianggap organ utama untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya.
Sebagai catatan : Beberapa harian terbitan ibukota bulan Mei 1979 menurunkan berita (Berita Buana, headline) mengenai pernyataan Feisal Tamin, juru bicara Departemen Dalam Negeri antara lain : ”bahwa pejabat-pejabat pemerintah khususnya Pejabat PR harus terbuka dan harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat. Pejabat yang tertutup berarti mereka adalah pejabat yang picik, pejabat yang takut diketahui kesalahannya”. Atas berita tersebut Mensekneg/Mendagri a.d. interim waktu itu menegur saya/mempertanyakannya. Demikian, seperti itulah kondisi/sistim pada era yang tidak sepenuhnya terbuka.

Panggung global membutuhkan naskah baru. Naskah baru ini menuntut para pemain utamanya untuk mengubah cara berpikir dan bertindak mereka. Ini berlaku bagi individu dan juga institusi, baik itu korporasi, serikat pekerja, kelompok-kelompok kampanye, investor, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat. (Ohmae, 2005: 253).

Adagium diam berarti emas atau banyak kerja sedikit bicara, sepertinya tidak lagi menjadi relevan dalam masyarakat yang semakin cerdas dan semakin menuntut. Karena, pemerintahan yang efektif dalam era sekarang adalah suatu pemerintahan yang harus banyak bekerja sekaligus komunikatif. Tentu harus disadari bahwa kondisi saat ini, informasi tidak lagi menjadi monopoli negara. Masyarakat dapat memiliki akses informasi dari berbagai sumber yang sedemikian melimpah. Namun, dalam suatu keberlimpahan informasi, terdapat potensi kebisingan (noise), sebagai akibat banyaknya informasi yang lalu lalang hampir tanpa kendali.

Kebisingan tersebut justru dapat menjadi kontraproduktif bagi efektivitas bekerjanya suatu pemerintahan. Sebab secara potensial dapat memicu kebingungan, oleh karena sukar diidentifikasi mana informasi yang benar dan tidak. Untuk itu efektivitas komunikasi perlu menjadi perhatian baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Sebab tiga komponen tersebut dalam sistem merupakan aktor-aktor yang seharusnya aktif dalam meraih informasi dan kreatif mengkomunikasikannya. Ini penting tidak saja dalam rangka penyebaran perkembangan dan kemajuan pekerjaan yang sedang terjadi, namun yang lebih utama lagi dalam rangka meminimalisir potensi dis-informasi/mis-informasi, sebagai konsekuensi atas keberlimpahan informasi yang seringkali crowded.

“Komunikasi adalah salah satu aktivitas manusia yang diakui setiap orang, namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan”. (Fiske, 1990:7). Sinyalemen tersebut saya kira bukanlah mengada-ada, sebab meskipun kita sadar bahwa komunikasi itu penting, namun banyak pihak baik individu maupun institusi yang tidak mampu melakukan definisi atas fungsi komunikasinya. Pemerintah Indonesia sebagai suatu sistem kelembagaan bisa juga dikatakan mengalami hal yang sama. Seperti yang dapat dilihat melalui model komunikasi iklan layanan masyarakat, baik yang dilakukan oleh Presiden dan Wakilnya, jajaran Menteri hingga Eselon dibawahnya. Kita dapat melihat ataupun merasakan, apakah iklan tersebut dapat berjalan secara efektif. Artinya, apakah besaran biaya negara yang dikeluarkan melalui iklan tersebut dapat mencapai hasil seperti yang diinginkan atau tidak. Sedangkan pada sisi lain terdapat aspek pertanggungjawaban yang juga harus dipertanyakan; bagaimana dengan iklan layanan yang bersifat menjanjikan sesuatu kemudian tidak dipenuhi oleh yang bersangkutan. Apakah itu dapat dikatakan sebagai satu kebohongan publik, dan bagaimana pertanggungjawabannya.


Praktik Komunikasi Politik; Beberapa Kasus
Beberapa model komunikasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah dan mendapatkan banyak kritik dari berbagai kalangan. Misalnya, pesan melalui SMS yang dilakukan oleh DEPKOMINFO dan pemasangan iklan media oleh salah satu lembaga masyarakat menyertakan banyak individu untuk mendukung kenaikan BBM. Alih-alih dapat memperoleh dukungan, justru strategi ini mendapatkan kritik keras dari berbagai pihak. Bukan pada berapa biaya SMS untuk sekian juta pelanggan handphone ataupun berapa harga iklan di media massa, namun materi yang disebarluaskannya.

Ini memperlihatkan bahwa upaya komunikasi dan transformasi informasi membutuhkan tidak sekedar penghitungan atas komponen biaya yang harus dikeluarkan. Sebab yang lebih penting adalah, menyangkut materi apa yang akan disebarluaskan dan siapa sasarannya. Memilah peruntukan informasi, kedalaman informasi yang akan disebarkan, dan apa media yang akan dipakai sebagai transmiternya merupakan bagian penting dari suatu strategi komunikasi. Termasuk didalamnya menghitung seberapa besar akurasi dari pesan yang akan disampaikan. Klasifikasi, apakah informasi tersebut bersifat teknis atau substansi, dan yang terutama adalah resepsi ataupun resistensi semacam apa yang akan muncul dari pihak-pihak penerima pesan. Bahasan ini seharusnya menjadi fokus utama sebelum keputusan komunikasi dilaksanakan. (Fiske, 1990:16).

Tidak semua komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah selalu berhasil, dan tidak semua inisiatif masyarakat dalam melakukan komunikasi dikatakan gagal. Acara dialog Republik BBM yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi nasional, dapat menjadi contoh tentang bagaimana pesan kebijakan dari pemerintah direspon oleh masyarakat. Dengan format yang didesain secara ringan dan segar, acara tersebut memuat berbagai sindiran baik terhadap kebijakan pemerintah yang didukung maupun yang dikritik. Melalui gaya parodi bahkan terkadang sinis, tidak saja substansi kebijakan direspon dan ditransformasi ulang kepada khalayak umum melalui perdebatan-perdebatan yang penuh dengan banyolan. Sinisme ini juga dicerminkan melalui personalisasi karakter yang dibuat seolah-olah bahwa, individu yang bersangkutan adalah sekelompok orang yang memerankan fungsi-fungsi seperti dalam suatu pemerintahan. Tak urung, sindiran serta kemasan isu dan format acara tersebut sempat menjadi polemik yang memunculkan rumor bahwa pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar acara tersebut dirubah formatnya.

Terlepas apakah kita sepakat atas format acara semacam itu atau tidak, termasuk memaknai pesan yang disampaikannya. Harus kita akui adanya kejelasan pesan bahwa dalam suatu pemerintahan, tidak saja dukungan yang dapat diperoleh bagi berjalannya suatu kebijakan. Namun didalamnya termasuk juga adanya tuntutan, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh kelompok-kelompok masyarakat baik kelompok penekan, kelompok kepentingan maupun partai politik. Hal ini saya anggap penting karena dalam suatu sistem pemerintahan, input bagi bahan pembuatan suatu kebijakan terdiri dari dua hal, yaitu dukungan dan tuntutan. Sehingga berupaya keras untuk meraih dukungan dari berbagai pihak seringkali menjadi target utama pemerintah, sedangkan tuntutan sering diabaikan. Secara kritis sekali lagi saya sampaikan bahwa efektivitas dari suatu komunikasi adalah ketika mampu menjaring semua dukungan dan tuntutan yang masuk untuk kemudian dikonversi menjadi suatu kebijakan, disamping bagaimana kebijakan tersebut akan disebarluaskan.

Menyeimbangkan Posisi Masyarakat dengan Negara Melalui Komunikasi Publik
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, menjadi rumusan universal bagi banyak negara di dunia karena dipercaya dapat mewujudkan suatu negara yang berorientasi pada pelayanan publik. Secara historis, posisi publik dengan negara berada pada posisi yang senjang. Hal ini dikarenakan sedari awalnya, negara/pemerintah memiliki sumber daya dan kewenangan yang tidak dimiliki oleh publik/masyarakat, dengan kata lain negara/pemerintah lebih kuat daripada publik. Oleh karena itu GG, melalui berbagai instrumennya (partisipasi, transparansi, kebebasan informasi, akuntabilitas dsb) menyeimbangkan posisi publik ketika berhadapan dengan negara. (Kartawidjaya, watchin @snafu.de).

Jika kelompok-kelompok masyarakat mulai aktif dalam upayanya untuk menyeimbangkan posisi publik dengan negara, via tuntutan partisipasi, lantas bagaimana negara beserta aparaturnya merespon gagasan-gagasan tersebut? Oleh karena itu saya berusaha mengajukan gagasan tentang komunikasi dua arah yang harus menjadi inisiatif dari pemerintah/negara. Sebagai pemegang kewenangan dalam pengelolaan sumber daya, negara melalui aparaturnya memiliki peran signifikan dalam meningkatkan fungsi dan pelayanannya.

Tujuan dari peningkatan kapasitas komunikasi publik yang dilakukan oleh negara, tentu akan berdampak positif dan sinergis ketika bertemu dengan gagasan yang diusung oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Pada akhirnya akan diterima titik keseimbangan baru, sebagai akibat pertemuan tuntutan masyarakat tentang keterbukaan, dengan kemampuan negara beserta aparaturnya melalui komunikasi aktif dua arah. Pada akhirnya kita bisa meyakini bahwa, pola kemitraan konstruktif antara negara-masyarakat seperti yang dicita-citakan dalam prinsip GG niscaya akan terbangun.

Komunikasi aktif dari pihak negara dapat dimulai melalui pengembangan secara terus-menerus baik dalam kualitas, format, teknik, dan daya guna teknologi. Komunikasi publik secara aktif bermanfaat sebagai pemecah kebekuan ataupun kesenjangan posisi negara versus masyarakat. Tidak saja dalam menyebarluaskan informasi secara teratur tentang kebijaksanaan, perencanaan, tetapi juga dalam rangka diseminasi atas hasil dan kinerja yang telah dicapai oleh Negara/pemerintah selama ini. ( Himpunan Orasi Ilmiah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, 2001-2003: 57).

Komunikasi aktif dapat juga dalam format konsultasi publik secara aktif baik yang bersifat reguler ataupun insidental. Konsultasi publik dapat secara efektif berfungsi sebagai ruang konfirmasi dan klarifikasi publik secara cepat terhadap berbagai perkembangan informasi yang pada era ini mengalami kemajuan pesat. Termasuk di dalam strategi komunikasi ini adalah hubungan dengan pers/media massa, penggunaan teknologi informasi; teleconference, video conference, internet/situs-situs pemerintahan (E Government), video streaming dan seterusnya yang semuanya memberikan banyak kemajuan bagi dukungan maupun tuntutan masyarakat atas kebijakan suatu pemerintahan/negara.

Khusus hubungan dengan media massa, saya anggap memiliki peranan sangat penting karena ia merupakan jalur yang sangat potensial dalam menjangkau masyarakat luas secara cepat. Kegiatan komunikasi apapun akan lebih berhasil bila diliput pers. Untuk itulah hubungan baik perlu dikembangkan, guna menciptakan kesadaran dan pengertian antara organisasi dengan pers sekaligus membawa manfaat dalam pembentukan citra dan publik opini. Tujuannya bukan sekedar publisitas dan penyebaran informasi sebanyak-banyaknya tetapi bagaimana pers dapat menyebarluaskan informasi secara optimal. Yang diperlukan adalah kualitas dan bukan pada kuantitas informasinya.

Sementara itu harus diingat bahwa potensi perbenturan dengan pers tetap besar apabila pihak luar tidak dapat sepenuhnya memahami fungsi, peranan dan kerja pers itu sendiri. Sering terjadi pihak luar pers termasuk pemerintah mempunyai harapan (expectations) yang tidak dapat dipenuhi dalam hubungan dengan pers. Pemuatan suatu berita tidak dapat dipaksakan atau diatur semau pihak luar, sebab sepenuhnya menjadi wewenang redaksi media. Apalagi untuk memenuhi keinginan mendapatkan headline dan sebagainya (di masa sebelum masa reformasi, hal ini masih mungkin terjadi, namun sekarang tidak lagi). Karena itu hubungan dengan pers harus bertitik tolak dari: pertama, penghargaan terhadap institusi pers dan peran sertanya. Kedua, pemahaman mengenai seluk beluk organisasi atau cara kerja mereka.

Kepemimpinan
Kepemimpinan yang kuat, tegas, dan berani menjadi satu kebutuhan mutlak dalam era ini. Pemimpin harus benar-benar tidak punya rasa takut. Tak boleh berpura-pura tidak takut, karena ketakutan itu menular. (Ohmae, 2004:312)

Persoalan tata kelola pemerintahan dewasa ini membutuhkan berbagai kombinasi agar dapat mencapai tujuan. Tidak saja komunikasi yang efektif, termasuk juga siapa yang tampil untuk memimpin sebagai pelaku komunikasi yang utama. Dalam suatu situasi yang mengenal ketidakpastian seperti sekarang ini, pemimpin harus mampu mengubahnya menjadi suatu kepastian yang dapat dikalkulasi. Salah satu jalan untuk itu adalah dengan mendapatkan informasi lebih banyak. Pemimpin yang baik harus mendapatkan informasi sebaik mungkin dan akurat mengenai dunia sekitarnya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki cinta dan gairah terhadap inovasi, sebab kecintaan dan kegairahan tersebut akan mendukung peningkatan kreativitasnya. Tidak saja terhadap berbagai inovasi atas kebijakan-kebijakan baru yang dibuatnya, namun juga bagaimana secara kreatif dan cerdas mengkomunikasikan kreasinya kepada khalayak. Sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat secara jelas tertangkap dan menimbulkan respon positif.

Keberanian seorang pemimpin bukanlah memiliki makna ’sembrono’, sebab dunia seperti yang dikatakan oleh Gidden dalam third wave nya adalah suatu keadaan yang penuh resiko. Dimana resiko dapat dikalkulasi, dan itu menjadi pembeda terhadap sesuatu yang dinamakan sebagai bencana (catastrophe). Keberanian ini harus digunakan sebagai penegas, guna menepis berbagai kekuatiran atas hilangnya kekuasaan pemerintahan masa lalu yang absolut, sebagai konsekuensi dari penerapan pemerintahan yang baik dan bersih secara konsisten dengan berbagai prinsip-prinsipnya. Cara pandang ini harus dibalik menjadi suatu insentif bagi efektivitas kepemimpin dalam melaksanakan fungsinya, sebab tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat memberikan basis legitimasi baik politis maupun legal bagi berjalannya suatu pemerintahan.

Pelaksanaan secara konsisten good governance juga memberikan insentif bagi pemimpin untuk tidak sendirian. Sebab jejaring kemitraan antara pemimpin pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan. Tidak saja dari aspek bersatunya ketiga sumber daya melalui kerjasama, namun memperkuat integritas, legitimasi, dan akuntabilitas suatu kebijakan.

Saran dan Rekomendasi
Mengakhiri paparan ini, saya ingin menyampaikan saran dan rekomendasi sebagai berikut;
- Konsistensi penerapan good governance dan terjaganya keseimbangan posisi hubungan publik dengan negara melalui proses komunikasi yang efektif, menjadi faktor signifikan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.
- Efektivitas komunikasi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, memerlukan pemilihan strategi yang cerdas dan bijak dalam penerapannya.
- Bagaimana peran masyarakat dan organisasi-organisasi seperti KOMWAS PBB dan lembaga-lembaga lainnya termasuk akademisi dan mahasiswa, untuk berkomitmen dalam menjaga dan merawat peningkatan kualitas fungsi pengawasannya secara kritis dan konstruktif. Sehingga dapat berfungsi tidak saja tempat kajian strategis dalam pengembangan pemerintahan yang baik dan bersih, namun dapat juga mengambil inisiatif dalam rekomendasi kebijakan publik.
- Sebagai aktor-aktor utama dalam sebuah sistem, pemerintah dan masyarakat harus menyadari fungsi kepemimpinannya. Sebab pemerintahan yang baik dan bersih dapat terwujud apabila terdapat kepemimpinan yang baik yang menjadi panutan dan mampu mengemas komunikasinya secara efektif.

Semoga bermanfaat bagi forum seminar dan bagi kemajuan bangsa negara tercinta.

Jakarta, 22 April 2006


Referensi:

D. Nugroho, Riant, Kebijakan Publik “Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004

Fiske, John, Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 1990

Kartawidjaya, Pipit, Pemerintah Bukan Negara, Rechtsfragen watchin.snafu.de, Watch Indonesia, Berlin, Jerman, 2006.

Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2004.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Himpunan Orasi Ilmiah Tahun 2001-2003, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta, 2004.

Ohmae, Kenichi, The Next Global Stage, Tantangan dan Peluang Dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan, Indeks-Gramedia Group, Jakarta, 2005

Pincus, Jonathan, R and Winters, Jeffrey, A, Membongkar Bank Dunia, Djambatan, Jakarta, 2004.

No comments: