Otonomi Birokrasi dan RUU Administrasi Pemerintahan

Suatu ketika, karena tidak sesuai dengan aturan yang ada, penolakan ijin ivestasi akan dilakukan oleh instansi atau administrasi pemerintahan. Oleh karena penolakan ijin, masuk kategori keputusan yang memberatkan atau bersifat menjatuhkan beban. Maka, instansi bersangkutan mengirimkan surat resmi kepada pemohon.

Demikian surat instansi tersebut; berdasarkan peraturan investasi yang ada, permohonan saudara tidak dapat kami penuhi. Oleh karena itu kami akan menolak permohonan tersebut. Namun, sebelum keputusan yang sifatnya memberatkan dijatuhkan, kami berkewajiban melakukan dengar pendapat dan memberikan kesempatan kepada saudara untuk mengungkapkan fakta dan dokumen terkait yang dimiliki saudara. Sehingga kami dapat mengubah ataupun membatalkan rencana keputusan kami tersebut. Sebagai lampiran, kami sertakan alasan-alasan penolakan dan aturan yang bertentangan dengan permohonan saudara. Sebelum menanggapi surat dengar pendapat ini, saudara berhak melihat dokumentasi administrasi pemerintahan dan berkas acara pemeriksaan terkait, agar dapat mengetahui bagaimana kami mengambil keputusan. Saudara dapat memberikan jawaban secara tertulis atau lisan.

Ilustrasi di atas sebenarnya hanya fiksi belaka, namun memperlihatkan kesetaraan posisi antara publik dengan administrasi pemerintahan. Kesantunan, prosedur, dan tindakan administrasi pemerintahan menjalankan fungsi pelayanan, agaknya langka dalam birokrasi di Indonesia. Pertama, budaya birokrasi yang selama ini menganggap posisinya lebih tinggi dari pada publik. Kedua, warisan lama birokrasi yang belum tersentuh banyak perubahan, dimana seringkali perintah atasan menjadi dasar pengambilan keputusan. Dan ketiga, karena tidak ada aturan kongkrit yang mewajibkan administrasi pemerintahan memenuhi hak-hak publik (pihak terlibat) tersebut.

Reformasi Birokrasi=Otonomi

Seringkali pengambilan keputusan administrasi pemerintahan terhadap masalah atau permohonan yang diajukan masyarakat, terhambat justru oleh rentang kendali internal birokrasi itu sendiri. Belum ada perintah atasan, pengabaian prinsip pengedepanan hukum, dan tidak jarang faktor suka tidak suka justru menjadi dasar bagi turunnya suatu keputusan.

Jika beberapa alasan di atas yang sering digunakan, dapat dibayangkan keputusan administrasi pemerintahan tentunya bersifat informal dan melalui cara lisan, bukan tertulis sebagaimana seharusnya keputusan resmi suatu instansi. Tentu saja pada akhirnya menyulitkan pihak terlibat, karena keputusan tersebut hanya berasal dari satu sisi saja, yaitu administrasi pemerintahan. Kedua, menutup kesempatan pihak terlibat untuk mengajukan keberatan terhadap instansi bersangkutan, maupun instansi hukum yang ada, seperti PTUN.

Oleh karena itu upaya mereformasi birokrasi, seharusnya ditempuh dengan cara pemberian payung hukum yang tegas bagi terciptanya perubahan itu sendiri. Pembatasan kewenangan dan kekuasaan, batasan waktu pengambilan keputusan, tanggungjawab dan distribusi kewenangan, serta kewajiban untuk memenuhi hak pihak terlibat dalam proses dan prosedur pengambilan keputusan haruslah menjadi tujuan yang utama.

Apabila masalah di atas dapat dipenuhi, maka birokrasi dapat bekerja secara otonom berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh payung hukum yang ada. Demikian juga dengan hak pihak terlibat, yang menjadi kewajiban administrasi pemerintahan untuk memenuhinya, tanpa kuatir akan kehilangan perannya. Justru harus dilihat sebaliknya, karena kewajiban ini membuat interaksi yang lebih transparan antara pihak terlibat dengan pengambil keputusan.

Pada sisi lain, otonomi birokrasi melalui distribusi kewenangan dalam mengambil keputusan, tidak saja berdampak mengurangi rentang birokrasi. Lebih dari itu, semakin meningkatkan kualitas dan mengarahkan korps birokrasi menjadi lebih profesional, oleh karena bebas intervensi. Tidak kalah penting, otonomi melalui payung hukum yang jelas, memberikan kepastian hukum bagi aparat birokrasi. Banyak kasus yang terjadi pada saat ini, dimana aparat birokrasi yang mengikuti perintah atasan justru dipidana.

Reformasi Birokrasi via RUU Administrasi Pemerintahan

Setelah 60 tahun Indonesia merdeka, berbagai masalah di internal birokrasi seperti yang disebut di atas baru akan terjawab. Aspirasi berupa tuntutan dan dukungan reformasi birokrasi yang berkembang, baik dari masyarakat maupun internal birokrasi. Setidaknya coba dijawab oleh Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP).

Melalui RUU ini, beberapa instrumen yang disediakan bagi pihak terlibat; Hak Dengar Pendapat dan Hak Melihat Dokumen Administrasi (pasal 19 dan 20). Bahkan keraguan terhadap “netralitas” pejabat yang menangani (pasal 14), mewajibkan administrasi pemerintahan untuk memenuhinya. Melalui instrumen ini, prinsip partisipasi dan kesetaraan posisi publik dengan administrasi pemerintahan, terwujud dalam prosedur pengambilan keputusan administrasi pemerintahan. Praktis, RUU AP mensubyektivikasi hubungan negara dengan publik. Setiap pihak terlibat harus dianggap serius dan tidak boleh menjadi obyek kebijakan dan kekuasaan semata. Karena itulah, dalam setiap prosedur administrasi pemerintahan, setiap individu/publik harus disertakan dan diberi perlengkapan seperti yang diatur dalam pasal-pasal RUU AP.

Pengedepanan prinsip hukum dalam pengambilan keputusan, menjadi isu terpenting dalam RUU ini. Dimana pengambilan dari suatu keputusan wajib didasarkan pada hukum yang ada, dan tertulis atau dokumen resmi. Sehingga aspek transparansi benar-benar akan terwujud, baik bagi administrasi negara itu sendiri maupun pihak terlibat penerima keputusan.

RUU AP, sekaligus membongkar mitos bahwa warga negara harus patuh terhadap keputusan administrasi pemerintahan. Instrumen Upaya Administratif melalui internal instansi bersangkutan, dan Gugatan melalui PTUN (pasal 37 dan 39). Memberikan kesempatan bagi warga negara untuk “bersengketa” secara sah atas keputusan yang dianggap merugikan.

Dahsyatnya aturan ini mengakselerasi potensi penciptaan birokrasi pemerintahan yang berkualitas, sekaligus mengurangi KKN. Menyisakan pertanyaan besar, baik kepada pemerintah maupun DPR. Apakah RUU ini menjadi prioritas untuk segera dibahas?

August Mellaz
Koordinator Advokasi Kebijakan
Koalisi Masyarakat untuk Pengawasan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (KOMWAS PBB).

Negara Bukanlah Pemerintah; Kajian Kritis Atas RUU Administrasi Pemerintahan

Sambutan
Pada Acara Diskusi Publik dan Peluncuran Buku
di Jakarta, 1 Juni 2006



Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yth, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara,
Dr. Adnan Buyung Nasution, para Narasumber dan undangan yang saya hormati.



Alhamdulillah, kita semua bersyukur karena berkat Karunia dan RahmatNya hari ini kita dapat menghadiri acara ini dalam keadaan sehat wal afiat. Kehadiran saudara-saudara menandai bahwa kegiatan yang sederhana ini cukup penting karena memang tidak lepas dari keinginan untuk memberikan sumbangan bagi kehidupan berbangsa/bernegara khususnya dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang lebih maju di masa depan. Hari ini kita akan membahas/mengkaji secara kritis RUU Administrasi Pemerintah yang pada waktunya akan dibahas DPR sekaligus dikaitkan dengan acara peluncuran buku hasil karya Bung Pipit R. Kartawidjaya yang berjudul ”Negara Bukanlah Pemerintah”.

Saudara-saudara;
Dibandingkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelayanan Publik, RUU Rahasia Negara, dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi, mungkin RUU Administrasi Pemerintahan belum banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat maupun kalangan terkait. Hal ini terlihat antara lain dari masih minimnya pemberitaan media massa, dalam menyajikan pendapat/opini publik yang merespon RUU tersebut. Padahal secara faktual, sesungguhnya RUU ini memiliki nilai strategis dalam meletakkan dasar bagi perbaikan tata administrasi negara/pemerintah Indonesia di masa datang.

”Dapatkah RUU Administrasi Pemerintahan mewujudkan kongkretisasi prinsip-prinsip hukum negara modern; menjadikan warga negara sebagai subyek hukum; dan melindunginya dari segenap potensi kesewenang-wenangan negara dalam menjalankan kekuasaannya”, menjadi catatan kritis yang perlu diajukan terhadap RUU ini. Begitu juga dengan keseimbangan posisi publik ketika berhadapan dengan administrasi negara, mekanisme apa yang dapat difasilitasi oleh RUU guna menjawab pertanyaan tersebut.

Saudara-saudara;
Buku yang ditulis oleh Bung Pipit yang berjudul ”Negara bukanlah Pemerintah” mencoba untuk mengurai persoalan tersebut melalui analisa praktis dengan memperbandingkan RUU Administrasi Pemerintahan Indonesia dengan UU Prosedur Administrasi Negara Jerman. Mungkin kita jadi banyak bertanya, mengapa harus memperbandingkannya dengan UU negara lain. Jawaban itu ada pada buku yang saat ini kita fasilitasi peluncurannya. Ada beberapa kesamaan, dengan kata lain dapat dikatakan terdapat kemiripan postur dari kedua produk hukum yang mengatur tata administrasi di kedua negara yang berbeda.

Hubungan administrasi negara dengan publik melalui instrumen UU Prosedur Administrasi Negara, Pemisahan Negara dengan Pemerintah, netralitas negara (dan lembaga negara), bagaimana menyeimbangkan posisi publik ketika berhadapan dengan administrasi negara, serta studi kasus yang relevan dari beberapa negara juga menjadi bahasan yang dikaji secara mendalam. Melalui analisa yang tajam, Bung Pipit mengungkapkan berbagai praktek tentang bagaimana administrasi negara bekerja, disertai contoh-contoh kasus dan konsekuensi yang muncul lewat suatu paparan yang menarik.

Tidak saja pemisahan negara-pemerintah yang secara jernih dipaparkan dalam buku ini, batasan-batasan obyektif kekuasaan administrasi negara memperlihatkan tindakan administrasi negara dapat dilakukan atau tidak. Secara efektif sistem administrasi negara yang tepat, otomatis berfungsi sebagai instrumen untuk meminimalisir potensi terjadinya KKN, merampingkan birokrasi, mengarahkan korps pegawai negeri menjadi abdi publik/sekaligus abdi negara. Prinsip keterikatan hukum dalam pelayanan publik, instrumen dengar pendapat, hak melihat dokumen dan ermessen secara efektif membuka ruang partisipasi publik dalam setiap keputusan administrasi kenegaraan. Instrumen-instrumen tersebut berfungsi sebagai penyeimbang antara posisi publik dengan administrasi negara yang sebelumnya mengalami kesenjangan.

Hadirin yang berbahagia;
Saya pribadi ingin bersaksi betapa rumusan-rumusan konsep tentang pemisahan negara-pemerintah, baik aspek kelembagaan maupun personel menjadi satu isu strategis demi perbaikan tata pelaksanaan kenegaraan Indonesia. Sebagai Menpan, saya pernah berkunjung ke Jerman (tahun 2003) dan bertukar pikiran dengan pemerintah Jerman mengenai hal yang justru banyak dibahas dalam buku ini. Oleh karena itu, sekali lagi saya menyatakan bahwa buku hasil karya Bung Pipit saya anggap penting dalam memberikan alur pikir tentang konsep dan bagaimana praktek administrasi suatu negara modern bekerja. Akan menjadi masukan yang berharga didalam kita mengembangkan berbagai hubungan publik dengan administrasi negara; juga tentang netralitas aparatur; batasan kewenangan; dan sistem peradilan yang tidak berpihak yang dapat memberikan kepastian atas adanya jaminan hukum. Tentu bukan saja bagi publik, namun juga bagi administrasi negara sendiri.

Saudara-saudara;
Sebagai bentuk apresiasi atas RUU Administrasi Pemerintahan dan pemikiran Bung Pipit yang tertuang dalam bukunya, kami mencoba untuk memfasilitasi diskusi publik dan peluncuran buku penting ini. Hal ini bukan saja dimaksudkan untuk mengangkat tema dan menarik perhatian publik tentang penting UU Administrasi Pemerintahan, tetapi juga mencoba menginsiasi partisipasi publik untuk mengawal pembahasan isu tersebut. Forum ini, kiranya sekaligus dapat menemukan jawaban terhadap sinyalemen berbagai kalangan tentang minimnya naskah akademik dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mudah-mudahan karya Bung Pipit dan diskusi hari ini, dapat semakin memperkaya materi-materi naskah akademik yang sudah ada dalam penyusunan RUU.

Sebagai bentuk apresiasi lain, ijinkan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang dalam kepada penulis dan Bung Hengki Kurniadi (Henk Publishing) yang telah mengikut sertakan KOMWAS PBB, untuk turut berpartisipasi dalam memberikan kontribusi kepada bangsa tercinta, melalui penerbitan buah pikiran seseorang yang memiliki komitmen terhadap kemajuan bangsanya. Semoga keterlibatan kami tidak berhenti sampai disini saja.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung kegiatan ini, sekaligus mohon maaf sedalam-dalamnya atas segala kekurangan yang mungkin terjadi.

Terima kasih.
Wassallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Jakarta, 1 Juni 2006

H. Feisal Tamin
Ketua Dewan Pembina

Efektivitas Sistem Administrasi Pemerintahan; Dalam Tata Kelola Pemerintahan Indonesia

Keynote Speech
Pada Acara Up-Grading Nasional
Leadership For Good Governance

“Pengembangan Pulau Integritas dan Pemahaman Good Governance”
Rabu, 13 September 2006 di Jakarta



Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yth. Para Pembicara
Hadirin yang saya hormati.

”Dapatkah negara mewujudkan peran asasinya yaitu pihak yang mewakili publik, tidak mencederainya, serta melindunginya dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan semata”. Pertanyaan ini sedemikian relevan, meski sebagian peserta yang hadir dalam forum ini sedikit mengerutkan dahi. Sekian puluh tahun kita merdeka, membangun komitmen bersama, dan mendewasakan bangsa ini. Sekian babak peristiwa yang tak terhitung lagi jumlahnya, drama perih yang harus diterima publik atas segala konsekuensi kekuasaan.

Lemahnya Manajemen Pemerintahan
Setidaknya, ada beberapa peristiwa aktual yang dapat saya ajukan guna mendukung hipotesis saya di atas. Pertama, penanganan bencana yang dalam kurun dua tahun ini mendera bangsa kita, dengan berbagai pengingkaran atas janji yang sebelumnya telah dinyatakan oleh wakil pemerintah kepada pengungsi dan korban. Kedua, fenomena penggusuran yang tidak lagi terjadi sekedar di Jawa. Tetapi mulai menyebar ke berbagai penjuru Indonesia (Padang, Medan, Manado, Makasar, dan seterusnya), dengan berbagai peristiwa kekerasan yang melatarinya. Ketiga, penanganan bencana lumpur panas Lapindo Brantas, yang hingga lebih dari 100 hari tidak juga tuntas. Alih-alih realisasi janji relokasi terpenuhi, malah sebaran lumpur panas makin meluas dan tidak kunjung tertanggulangi, bahkan beberapa titik baru semburan lumpur panas yang muncul. Keempat, kesalahan data kemiskinan yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan, namun disampaikan secara berbalik. Terdapat sinyalemen bahwa terjadi ‘intervensi’ oleh pemerintah atas data akurat yang seharusnya dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan yakni BPS.

Dari tiga ilustrasi di atas, apa yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan adalah; pengingkaran atas janji, penggunaan kekerasan, ketidaktegasan dari pemegang mandat kekuasaan, dan internal pemerintahan yang penuh dengan persilangan kepentingan pribadi maupun golongan. Hanya itu, tidak lebih. Lantas dimana negara, apa perlindungannya ketika publik dicederai hatinya oleh janji-janji yang tidak pernah ada realisasi, atau fisiknya oleh pentungan dan gas air mata aparat yang harus menggusur rumah/tempat berdagang mereka. Secara telanjang, publik/masyarakat menyaksikan bahwa pemerintah yang berkuasa, hanya sekedar mengejar kepentingannya sendiri. Bukan memperjuangkan kepentingan masyarakat luas, khususnya masyarakat korban. Ini menandakan bahwa, begitu banyak pihak yang bekerja atas nama pemerintah, namun yang justru kita tonton adalah drama tentang absennya pemerintah. Secara fisik pemerintah ada di sana, tetapi tanpa menunaikan fungsi-fungsi asasinya secara memadai.

Negara Versus Pemerintah
Lantas dimana negara berada pada saat publik yang harusnya dilindungi dari segenap potensi kesewenang-wenangan kekuasaan berlangsung. Apakah dengan demikian dapat dinyatakan bahwa, negara yang secara operasional dijalankan oleh administrasinya telah ‘gagal’ mengemban misi utamanya. Seperti kita ketahui melalui paparan di atas, fakta menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pihak yang kita harapkan dapat memecahkan berbagai persoalan yang menimpa publik, ternyata hanyalah pihak yang berusaha mempertahankan kekuasaannya saja. Pemerintah, secara internal dipenuhi oleh kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Di satu sisi, mengemban mandat penegakan hukum, namun enggan menerapkannya pada kelompok-kelompok yang dulu memberi dukungan. Pengentasan kemiskinan, sebagai mandat yang lain ternyata program-program yang dijalankannya justru semakin menambah jumlah angka penduduk miskin di Indonesia.

Setelah mengetahui itu semua, lantas pada siapa publik dapat menyerahkan kepercayaannya. Kita mungkin sering memiliki persepsi bahwa pemerintah dan negara adalah sama, mereka menjelma ke dalam satu institusi. Padahal dibanyak negara yang menerapkan sistem hukum modern, negara menjadi pihak yang mewakili kepentingan publik. Tidak jarang dan seharusnya memang begitu, bahwa negara menjadi pihak yang berhadap-hadapan dengan pemerintah ketika terdapat suatu kebijakan yang dapat merugikan publik. Seperti apa yang diungkap oleh Dr. Risa Permanadeli (Kompas Sabtu 29 Juli 2006, hal 4 kolom Sosok dan Pemikiran), “Pemerintah dan Negara tidak satu. Negara harus berhadapan dengan kekuasaan (Pemerintah). Pemerintahnya bisa ganti-ganti, tetapi Negara tetap. Ia mewakili kepentingan seluruh elemen masyarakat”.

Negara sebagai Wakil Publik
Negara melalui administrasinya (pegawai negeri sipil) justru menjadi pihak yang seringkali menghindarkan publik dari berbagai beban atas suatu kebijakan. Administrasi negara menjadi pihak yang secara adil dan transparan menjembatani pertentangan kepentingan antara pemerintah dengan publik. Administrasi negara, pada batas-batas tertentu memiliki kewenangan untuk secara otonom dalam mengambil keputusan tanpa dapat di intervensi oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Sebagai contoh: keputusan pemberian suaka bagi 42 orang warga Papua oleh DIMA (Departemen Imigrasi Australia), menjadi fakta yang jelas betapa prosedur dan kewenangan yang dimiliki oleh DIMA dihormati dan tidak dapat diintervensi oleh kepentingan politik apapun, termasuk Perdana Menteri John Howard. Meskipun pada saat itu, terjadi ketegangan politis antar dua negara, dimana pemerintah Indonesia melakukan protes kepada pemerintah Australia. Yang terjadi di Indonesia, adalah sebaliknya dimana data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) tidak kuasa menolak intervensi pemerintah.

Seharusnya administrasi negara berlaku otonom, tanpa menunggu instruksi dari pemerintah. Misalnya pada saat penanganan bencana (baik tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir lumpur panas). Tanpa harus menunggu instruksi menteri atau presiden sekalipun, administrasi negara (instansi teknis; Satkorlak dan dinas-dinas terkait), secara otomatis mengambil tindakan-tidakan yang dapat secara efektif menanggulangi bencana. Namun, yang kita saksikan justru pejabat-pejabat pemerintah silih berganti mendatangi daerah bencana dengan berbagai media yang meliputnya, sekedar untuk mendapatkan publisitas semata. Kedatangan para pejabat di daerah bencana diiringi berbagai janji, untuk segera menangani masalah yang ada secara tuntas. Namun, janji tinggal janji, fakta di lapangan menunjukkan bahwa antar pejabat dan instansi lemah koordinasi. Kalau tidak, birokrasi yang ada tidak menjalankan tugasnya secara efektif dengan dalih masih menunggu dan belum ada instruksi. Padahal, birokrasi sebagai administrasi negara harusnya otonom melakukan perencanaan dan penanganan bencana secara efektif. Tanpa harus menunggu instruksi menteri (pejabat politis) ataupun presiden.

Esensi Good Governance; Kepentingan Publik Sebagai Orientasi Kebijakan
Perumusan dan pengelolaan kebijakan dewasa ini menuntut perubahan orientasi. Dari sekedar otoritas dalam melakukan alokasi dan distribusi sumber daya, menjadi berorientasi pada kepentingan publik atas suatu kebijakan. Fenomena lemahnya koordinasi antar instansi, balas pantun antar pejabat, dan lemahnya penegakan hukum dalam penanganan kasus-kasus di atas. Setidaknya menyadarkan kepada kita bahwa pemerintah dapat dikatakan gagal dalam memprioritaskan kepentingan publik yang harus diselamatkan. Demikian juga dengan, dalih kepentingan umum yang seringkali dipakai sebagai argumentasi, untuk membenarkan dilakukannya penggusuran dengan berbagai tindakan kekerasan.

Bukankah syarat dari negara hukum modern sekarang, berorientasi pada penggunaan prinsip-prinsip good governance sebagai landasan kerja negara-bangsa. Berbagai prinsip tersebut, saya yakin sudah kita kenal dan sering kita dengar, terutama bagi para penggiat demokrasi. Tetapi, pada tingkat operasional pemerintahan, paradigma tersebut masih jarang kita saksikan. Dasar kepentingan umum yang digunakan pada penggusuran PKL (pedagang Kaki Lima) sebagai contoh. Publik (dalam hal ini PKL), yang karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja membuat mereka secara kreatif mencari penghidupan tanpa mengandalkan pemerintah, justru menjadi pihak yang seringkali dirugikan. Dalih mengganggu ketertiban dan kepentingan umum menjadi dasar kuat bagi penggusuran atas kelompok ini. Padahal, bukankah kepentingan umum harusnya dapat dikenali secara lebih jelas dan bijak. Misalnya, bila terjadi penggusuran PKL maka mengakibatkan sejumlah orang yang dulunya bekerja menjadi kehilangan pekerjaan. Kepentingan umum yang seharusnya berlaku adalah akan ada sejumlah orang penganggur beserta keluarganya, yang harus menjadi beban anggaran negara. Namun, logika kepentingan umum ini justru absen dalam pertimbangan kebijakan dan penerapan eksekusi penggusuran.

Begitu juga asas kepercayaan yang tidak pernah dikenalkan baik konsep maupun aplikasinya. Asas ini mengasumsikan bahwa, jika muncul kebijakan baru maka kebijakan tersebut tidak berlaku surut. Hal ini memberikan insentif kepada publik untuk percaya terhadap suatu peraturan. Misalnya pada kasus PKL, setelah sekian waktu mendiami suatu lahan tanpa adanya larangan, bahkan tidak jarang diiringi penarikan retribusi. Maka asas kepercayaan yang berlaku adalah, publik percaya kepada negara, bahwa negara menganggap tindakan publik itu benar.

Oleh karena itu administrasi negara harusnya tidak sekedar berpikir dan mengambil tindakan untuk menggusur. Tetapi secara aktif mencarikan peluang melalui pemberian informasi yang cukup, agar para PKL dapat mengajukan pengurusan statusnya secara legal. Apabila dikemudian hari dibuat suatu kebijakan, PKL tidak serta merta dianggap ilegal dan patut digusur. Posisi ini membuat status PKL lebih setara dalam mencari titik temu dengan kebijakan yang dibuat oleh negara. Dan lebih penting lagi administrasi negara (dinas tramtib/pemda) benar-benar dapat menjadi wakil/abdi publik, dan secara otomatis menghindarkan publik dari potensi kesewenang-wenangan kekuasaan. Bukan seperti sekarang ini, dimana mereka seringkali terlihat garang ketika berhadapan dengan publik, seolah publik adalah lawan mereka. Ditengah segala kewenangan yang melekat pada diri birokrasi, maka apabila kewenangan tersebut digunakan secara optimal maka otomatis memperlihatkan bahwa, negara sama dengan mewakili kepentingan publik. Dengan kata lain aparat negara adalah abdi publik.

Secara esensi, prinsip-prinsip transparansi, penegakan hukum, akuntabitas, partisipasi publik dalam good governance akan dapat benar-benar terwujud melalui kesetaraan posisi antara publik dan negara. Bukankah good governance adalah tata kelola suatu pemerintahan, dimana muncul kepercayaan dari masyarakat terhadap otoritas yang dimiliki oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya, terjadi penghormatan atas hak-hak yang dimiliki masyarakat, untuk dipenuhi oleh pihak yang memerintah.
RUU Administrasi Pemerintahan; Kunci Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik dan Bersih
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih merupakan esensi dari good governance itu sendiri. Itu akan dapat tercapai apabila, terdapat keadaan dimana roda pemerintahan ditandai dengan absennya KKN, peningkatan mutu pelayanan publik, profesionalisme birokrasi yang arahnya sebagai abdi publik.

Di banyak negara yang menganut prinsip hukum modern, undang-undang prosedur administrasi negara/administrasi pemerintahan menjadi penentu utama, apakah negara tersebut berdasarkan kekuasaan semata atau tidak. Secara teknis-operasional, undang-undang prosedur administrasi ini merupakan tata krama negara ketika berhadapan dengan publik/masyarakat. UU prosedur administrasi ini menjadi perwujudan dari kongkretisasi prinsip-prinsip negara modern, termasuk di dalamnya adalah good governance.

Dengan prosedur administrasi, maka pemerintahan yang semata-mata berdasarkan kekuasaan secara otomatis akan terbatasi penggunaannnya. Kepentingan publik, bahkan individu menjadi prinsip utama dari bekerjanya suatu Administrasi Pemerintahan. Dengar Pendapat Pihak Yang Terlibat (pasal 19), Hak Melihat Dokumen Administrasi (pasal 20), dan Upaya Administratif (pasal 37) adalah sebagian instrumen yang dimiliki publik untuk menghindarkan diri dari kesewenang-wenangan. Prosedur administrasi ini mewujudkan hak nyata publik/individu, untuk secara sah berbeda pendapat atas suatu kebijakan yang dibuat oleh administrasi negara. Namun, publik juga harus memperhatikan ketentuan tentang Diskresi (pasal 1 ayat 8). Sebab, ketentuan ini berpotensi untuk mengecualikan hak-hak publik dalam pembuatan suatu keputusan administrasi.

Oleh sebab itu semua pihak harus menyadari bahwa negara kita sangat memerlukan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, yang saat ini sedang dalam pembahasan. Seyogianya Pemerintah dan DPR harus bersungguh-sungguh untuk membuat UU tersebut tidak dengan semangat setengah hati. Sementara itu publik harus memberi dukungan dan berkomitmen untuk mengawal, apakah hak-hak publik terakomodir dalam RUU tersebut. Terlebih penting lagi, apakah hak-hak tersebut dapat dikecualikan atau tidak.

Dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, maka salah satu prasyarat sistem administrasi yang mantap dapat terwujud dalam tata kelola pemerintahan NKRI.

Akhirnya, saya berharap agar forum ini dapat mengembangkan pikiran-pikiran konstruktif bagi kemajuan bangsa/negara khususnya bagi kemaslahatan rakyat yang masih menderita.

Sekian.
Terima kasih.
Wassalamualaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh



Ketua Dewan Pembina
KOMWAS PBB



H. Feisal Tamin

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH

Oleh: Drs. H. Feisal Tamin



Good Governance
Sebagaimana dimaklumi pada pertengahan tahun 1980 berkembang konsep good governance, yang dirumuskan oleh World Bank sebagai “… the manner in which power is exercised in the management country’s economic and social resource for development…”. Sebenarnya konsep good governance sendiri telah dikembangkan oleh banyak penulis dengan berbagai argumentasi dan justifikasi, sehingga disebut sebagai a rather confusing variety of catchword, suatu konsep yang ‘has come to mean too many different things’.

Namun demikian, rumusan UNDP tentang GG agaknya banyak dipakai sebagai konsep rujukan oleh berbagai lembaga; negara/pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Bahkan Bank Dunia sebagai penggagas konsep GG juga mengalami tuntutan agar dilakukan perubahan dalam tingkat tata kelola internal dan reformasi kelembagaan (Pincus & Winters, 2004:31). Ini menunjukkan bahwa GG menjadi isu utama dalam tata kelola dan reformasi kelembagaan yang tidak saja berdimensi lokal, namun juga internasional. Rumusan konsepsi UNDP tentang GG sebagai hubungan sinergis dan konstruktif antara negara, sektor swasta, dan masyarakat, memiliki sembilan dasar karakteristik, yaitu:
1. Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
3. Transparency, dibangun atas dasar kebebasan mendapatkan akses informasi publik bagi masyarakat.
4. Responsiveness, lembaga-lembaga publik tanggap dan cepat dalam melayani stakeholder.
5. Consensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
6. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
7. Effectiveness and efficiency, pengelolaan sumber daya publik secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
8. Accountability, Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
9. Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. (Mardiasmo, 2004:24).

Kita tidak sedang membahas satu persatu, sembilan karakteristik tentang GG yang dirumuskan oleh UNDP, sebab isu tersebut dalam kurun waktu satu dasawarsa ini menjadi sedemikian populer dan menjadi kajian banyak pihak. Sebagai rujukan yang harus diemban oleh pemangku mandat dalam melakukan fungsi-fungsi pelayanan publik, pemerintah melalui Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberikan rumusan dan pengistilahan GG sebagai “… kepemerintahan yang baik dan mendefinisikannya sebagai penyelenggaraan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat”. (Riant Nugroho, 2004: 221).

Oleh karena itu untuk mempermudah konsepsi GG yang telah mengalami banyak pemaknaan, tidak berlebihan jika ditarik kesimpulan guna membatasi operasionalisasi konsep tersebut melalui pertanyaan; apakah pemerintah tahu apa yang harus dikerjakannya dan apakah pekerjaan tersebut dilaksanakan secara efisien? Jadi sebenarnya GG adalah masalah kepercayaan dan hal itu berkenaan dengan kontrol dan pengendalian atas segala sumber daya melalui kewenangan yang dimiliki, baik untuk mengalokasikan maupun mendistribusikannya.

Pertanyaan berikutnya bagaimana peran komunikasi sebagai kekuatan yang signifikan guna mewujudkan Good Governance. Untuk melihat itu semua, maka komunikasi yang bagaimana dapat secara efektif menjadi stimulus bagi perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih? Siapa saja aktor atau pelaku komunikasi dalam perwujudan pemerintahan yang baik dan bersih tersebut?

Efektivitas Komunikasi
Gelombang perubahan yang menandai kemajuan peradaban, dicerminkan oleh keadaan yang sarat dengan persaingan dan liberalisasi arus informasi; investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Pada sisi internal, pemerintahan juga akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society), yang juga berarti masyarakat yang banyak tuntutan (demanding community). Hal ini menjadi suatu konsekuensi atas pemenuhan yang memuaskan terhadap public services pemerintah, sebagai imbalan atas pajak yang telah mereka bayarkan. (Mardiasmo, 2004: 11).

Tuntutan berbagai pihak atas perbaikan serta peningkatan pelayanan publik dan penyingkapan informasi publik oleh demanding community, menjadi tema sentral dalam salah satu isu GG. Transparansi, akuntabilitas kelembagaan menjadi rujukan utama dalam rangka menjawab tuntutan yang saat ini sedang berkembang. Oleh sebab itu, efektivitas komunikasi saya angkat sebagai titik tekan dalam merespon tema ini.

Negara sebagai pengelola sumber daya diyakini memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan kekuasaan (abuse), baik terhadap informasi-informasi publik ataupun terhadap sumber daya. Hal ini dapat dibuktikan, tidak saja pada negara-negara yang berada dalam struktur tertutup (otoritarian), bahkan meluas juga pada negara-negara maju. Tuntutan keterbukaan oleh masyarakat diyakini dapat menjaga perilaku negara untuk tidak sewenang-wenang. Namun, meskipun negara memiliki potensi seperti yang telah disebutkan diatas, melalui birokrasinya negara tetap dianggap organ utama untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya.
Sebagai catatan : Beberapa harian terbitan ibukota bulan Mei 1979 menurunkan berita (Berita Buana, headline) mengenai pernyataan Feisal Tamin, juru bicara Departemen Dalam Negeri antara lain : ”bahwa pejabat-pejabat pemerintah khususnya Pejabat PR harus terbuka dan harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat. Pejabat yang tertutup berarti mereka adalah pejabat yang picik, pejabat yang takut diketahui kesalahannya”. Atas berita tersebut Mensekneg/Mendagri a.d. interim waktu itu menegur saya/mempertanyakannya. Demikian, seperti itulah kondisi/sistim pada era yang tidak sepenuhnya terbuka.

Panggung global membutuhkan naskah baru. Naskah baru ini menuntut para pemain utamanya untuk mengubah cara berpikir dan bertindak mereka. Ini berlaku bagi individu dan juga institusi, baik itu korporasi, serikat pekerja, kelompok-kelompok kampanye, investor, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat. (Ohmae, 2005: 253).

Adagium diam berarti emas atau banyak kerja sedikit bicara, sepertinya tidak lagi menjadi relevan dalam masyarakat yang semakin cerdas dan semakin menuntut. Karena, pemerintahan yang efektif dalam era sekarang adalah suatu pemerintahan yang harus banyak bekerja sekaligus komunikatif. Tentu harus disadari bahwa kondisi saat ini, informasi tidak lagi menjadi monopoli negara. Masyarakat dapat memiliki akses informasi dari berbagai sumber yang sedemikian melimpah. Namun, dalam suatu keberlimpahan informasi, terdapat potensi kebisingan (noise), sebagai akibat banyaknya informasi yang lalu lalang hampir tanpa kendali.

Kebisingan tersebut justru dapat menjadi kontraproduktif bagi efektivitas bekerjanya suatu pemerintahan. Sebab secara potensial dapat memicu kebingungan, oleh karena sukar diidentifikasi mana informasi yang benar dan tidak. Untuk itu efektivitas komunikasi perlu menjadi perhatian baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Sebab tiga komponen tersebut dalam sistem merupakan aktor-aktor yang seharusnya aktif dalam meraih informasi dan kreatif mengkomunikasikannya. Ini penting tidak saja dalam rangka penyebaran perkembangan dan kemajuan pekerjaan yang sedang terjadi, namun yang lebih utama lagi dalam rangka meminimalisir potensi dis-informasi/mis-informasi, sebagai konsekuensi atas keberlimpahan informasi yang seringkali crowded.

“Komunikasi adalah salah satu aktivitas manusia yang diakui setiap orang, namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan”. (Fiske, 1990:7). Sinyalemen tersebut saya kira bukanlah mengada-ada, sebab meskipun kita sadar bahwa komunikasi itu penting, namun banyak pihak baik individu maupun institusi yang tidak mampu melakukan definisi atas fungsi komunikasinya. Pemerintah Indonesia sebagai suatu sistem kelembagaan bisa juga dikatakan mengalami hal yang sama. Seperti yang dapat dilihat melalui model komunikasi iklan layanan masyarakat, baik yang dilakukan oleh Presiden dan Wakilnya, jajaran Menteri hingga Eselon dibawahnya. Kita dapat melihat ataupun merasakan, apakah iklan tersebut dapat berjalan secara efektif. Artinya, apakah besaran biaya negara yang dikeluarkan melalui iklan tersebut dapat mencapai hasil seperti yang diinginkan atau tidak. Sedangkan pada sisi lain terdapat aspek pertanggungjawaban yang juga harus dipertanyakan; bagaimana dengan iklan layanan yang bersifat menjanjikan sesuatu kemudian tidak dipenuhi oleh yang bersangkutan. Apakah itu dapat dikatakan sebagai satu kebohongan publik, dan bagaimana pertanggungjawabannya.


Praktik Komunikasi Politik; Beberapa Kasus
Beberapa model komunikasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah dan mendapatkan banyak kritik dari berbagai kalangan. Misalnya, pesan melalui SMS yang dilakukan oleh DEPKOMINFO dan pemasangan iklan media oleh salah satu lembaga masyarakat menyertakan banyak individu untuk mendukung kenaikan BBM. Alih-alih dapat memperoleh dukungan, justru strategi ini mendapatkan kritik keras dari berbagai pihak. Bukan pada berapa biaya SMS untuk sekian juta pelanggan handphone ataupun berapa harga iklan di media massa, namun materi yang disebarluaskannya.

Ini memperlihatkan bahwa upaya komunikasi dan transformasi informasi membutuhkan tidak sekedar penghitungan atas komponen biaya yang harus dikeluarkan. Sebab yang lebih penting adalah, menyangkut materi apa yang akan disebarluaskan dan siapa sasarannya. Memilah peruntukan informasi, kedalaman informasi yang akan disebarkan, dan apa media yang akan dipakai sebagai transmiternya merupakan bagian penting dari suatu strategi komunikasi. Termasuk didalamnya menghitung seberapa besar akurasi dari pesan yang akan disampaikan. Klasifikasi, apakah informasi tersebut bersifat teknis atau substansi, dan yang terutama adalah resepsi ataupun resistensi semacam apa yang akan muncul dari pihak-pihak penerima pesan. Bahasan ini seharusnya menjadi fokus utama sebelum keputusan komunikasi dilaksanakan. (Fiske, 1990:16).

Tidak semua komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah selalu berhasil, dan tidak semua inisiatif masyarakat dalam melakukan komunikasi dikatakan gagal. Acara dialog Republik BBM yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi nasional, dapat menjadi contoh tentang bagaimana pesan kebijakan dari pemerintah direspon oleh masyarakat. Dengan format yang didesain secara ringan dan segar, acara tersebut memuat berbagai sindiran baik terhadap kebijakan pemerintah yang didukung maupun yang dikritik. Melalui gaya parodi bahkan terkadang sinis, tidak saja substansi kebijakan direspon dan ditransformasi ulang kepada khalayak umum melalui perdebatan-perdebatan yang penuh dengan banyolan. Sinisme ini juga dicerminkan melalui personalisasi karakter yang dibuat seolah-olah bahwa, individu yang bersangkutan adalah sekelompok orang yang memerankan fungsi-fungsi seperti dalam suatu pemerintahan. Tak urung, sindiran serta kemasan isu dan format acara tersebut sempat menjadi polemik yang memunculkan rumor bahwa pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar acara tersebut dirubah formatnya.

Terlepas apakah kita sepakat atas format acara semacam itu atau tidak, termasuk memaknai pesan yang disampaikannya. Harus kita akui adanya kejelasan pesan bahwa dalam suatu pemerintahan, tidak saja dukungan yang dapat diperoleh bagi berjalannya suatu kebijakan. Namun didalamnya termasuk juga adanya tuntutan, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh kelompok-kelompok masyarakat baik kelompok penekan, kelompok kepentingan maupun partai politik. Hal ini saya anggap penting karena dalam suatu sistem pemerintahan, input bagi bahan pembuatan suatu kebijakan terdiri dari dua hal, yaitu dukungan dan tuntutan. Sehingga berupaya keras untuk meraih dukungan dari berbagai pihak seringkali menjadi target utama pemerintah, sedangkan tuntutan sering diabaikan. Secara kritis sekali lagi saya sampaikan bahwa efektivitas dari suatu komunikasi adalah ketika mampu menjaring semua dukungan dan tuntutan yang masuk untuk kemudian dikonversi menjadi suatu kebijakan, disamping bagaimana kebijakan tersebut akan disebarluaskan.

Menyeimbangkan Posisi Masyarakat dengan Negara Melalui Komunikasi Publik
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, menjadi rumusan universal bagi banyak negara di dunia karena dipercaya dapat mewujudkan suatu negara yang berorientasi pada pelayanan publik. Secara historis, posisi publik dengan negara berada pada posisi yang senjang. Hal ini dikarenakan sedari awalnya, negara/pemerintah memiliki sumber daya dan kewenangan yang tidak dimiliki oleh publik/masyarakat, dengan kata lain negara/pemerintah lebih kuat daripada publik. Oleh karena itu GG, melalui berbagai instrumennya (partisipasi, transparansi, kebebasan informasi, akuntabilitas dsb) menyeimbangkan posisi publik ketika berhadapan dengan negara. (Kartawidjaya, watchin @snafu.de).

Jika kelompok-kelompok masyarakat mulai aktif dalam upayanya untuk menyeimbangkan posisi publik dengan negara, via tuntutan partisipasi, lantas bagaimana negara beserta aparaturnya merespon gagasan-gagasan tersebut? Oleh karena itu saya berusaha mengajukan gagasan tentang komunikasi dua arah yang harus menjadi inisiatif dari pemerintah/negara. Sebagai pemegang kewenangan dalam pengelolaan sumber daya, negara melalui aparaturnya memiliki peran signifikan dalam meningkatkan fungsi dan pelayanannya.

Tujuan dari peningkatan kapasitas komunikasi publik yang dilakukan oleh negara, tentu akan berdampak positif dan sinergis ketika bertemu dengan gagasan yang diusung oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Pada akhirnya akan diterima titik keseimbangan baru, sebagai akibat pertemuan tuntutan masyarakat tentang keterbukaan, dengan kemampuan negara beserta aparaturnya melalui komunikasi aktif dua arah. Pada akhirnya kita bisa meyakini bahwa, pola kemitraan konstruktif antara negara-masyarakat seperti yang dicita-citakan dalam prinsip GG niscaya akan terbangun.

Komunikasi aktif dari pihak negara dapat dimulai melalui pengembangan secara terus-menerus baik dalam kualitas, format, teknik, dan daya guna teknologi. Komunikasi publik secara aktif bermanfaat sebagai pemecah kebekuan ataupun kesenjangan posisi negara versus masyarakat. Tidak saja dalam menyebarluaskan informasi secara teratur tentang kebijaksanaan, perencanaan, tetapi juga dalam rangka diseminasi atas hasil dan kinerja yang telah dicapai oleh Negara/pemerintah selama ini. ( Himpunan Orasi Ilmiah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, 2001-2003: 57).

Komunikasi aktif dapat juga dalam format konsultasi publik secara aktif baik yang bersifat reguler ataupun insidental. Konsultasi publik dapat secara efektif berfungsi sebagai ruang konfirmasi dan klarifikasi publik secara cepat terhadap berbagai perkembangan informasi yang pada era ini mengalami kemajuan pesat. Termasuk di dalam strategi komunikasi ini adalah hubungan dengan pers/media massa, penggunaan teknologi informasi; teleconference, video conference, internet/situs-situs pemerintahan (E Government), video streaming dan seterusnya yang semuanya memberikan banyak kemajuan bagi dukungan maupun tuntutan masyarakat atas kebijakan suatu pemerintahan/negara.

Khusus hubungan dengan media massa, saya anggap memiliki peranan sangat penting karena ia merupakan jalur yang sangat potensial dalam menjangkau masyarakat luas secara cepat. Kegiatan komunikasi apapun akan lebih berhasil bila diliput pers. Untuk itulah hubungan baik perlu dikembangkan, guna menciptakan kesadaran dan pengertian antara organisasi dengan pers sekaligus membawa manfaat dalam pembentukan citra dan publik opini. Tujuannya bukan sekedar publisitas dan penyebaran informasi sebanyak-banyaknya tetapi bagaimana pers dapat menyebarluaskan informasi secara optimal. Yang diperlukan adalah kualitas dan bukan pada kuantitas informasinya.

Sementara itu harus diingat bahwa potensi perbenturan dengan pers tetap besar apabila pihak luar tidak dapat sepenuhnya memahami fungsi, peranan dan kerja pers itu sendiri. Sering terjadi pihak luar pers termasuk pemerintah mempunyai harapan (expectations) yang tidak dapat dipenuhi dalam hubungan dengan pers. Pemuatan suatu berita tidak dapat dipaksakan atau diatur semau pihak luar, sebab sepenuhnya menjadi wewenang redaksi media. Apalagi untuk memenuhi keinginan mendapatkan headline dan sebagainya (di masa sebelum masa reformasi, hal ini masih mungkin terjadi, namun sekarang tidak lagi). Karena itu hubungan dengan pers harus bertitik tolak dari: pertama, penghargaan terhadap institusi pers dan peran sertanya. Kedua, pemahaman mengenai seluk beluk organisasi atau cara kerja mereka.

Kepemimpinan
Kepemimpinan yang kuat, tegas, dan berani menjadi satu kebutuhan mutlak dalam era ini. Pemimpin harus benar-benar tidak punya rasa takut. Tak boleh berpura-pura tidak takut, karena ketakutan itu menular. (Ohmae, 2004:312)

Persoalan tata kelola pemerintahan dewasa ini membutuhkan berbagai kombinasi agar dapat mencapai tujuan. Tidak saja komunikasi yang efektif, termasuk juga siapa yang tampil untuk memimpin sebagai pelaku komunikasi yang utama. Dalam suatu situasi yang mengenal ketidakpastian seperti sekarang ini, pemimpin harus mampu mengubahnya menjadi suatu kepastian yang dapat dikalkulasi. Salah satu jalan untuk itu adalah dengan mendapatkan informasi lebih banyak. Pemimpin yang baik harus mendapatkan informasi sebaik mungkin dan akurat mengenai dunia sekitarnya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki cinta dan gairah terhadap inovasi, sebab kecintaan dan kegairahan tersebut akan mendukung peningkatan kreativitasnya. Tidak saja terhadap berbagai inovasi atas kebijakan-kebijakan baru yang dibuatnya, namun juga bagaimana secara kreatif dan cerdas mengkomunikasikan kreasinya kepada khalayak. Sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat secara jelas tertangkap dan menimbulkan respon positif.

Keberanian seorang pemimpin bukanlah memiliki makna ’sembrono’, sebab dunia seperti yang dikatakan oleh Gidden dalam third wave nya adalah suatu keadaan yang penuh resiko. Dimana resiko dapat dikalkulasi, dan itu menjadi pembeda terhadap sesuatu yang dinamakan sebagai bencana (catastrophe). Keberanian ini harus digunakan sebagai penegas, guna menepis berbagai kekuatiran atas hilangnya kekuasaan pemerintahan masa lalu yang absolut, sebagai konsekuensi dari penerapan pemerintahan yang baik dan bersih secara konsisten dengan berbagai prinsip-prinsipnya. Cara pandang ini harus dibalik menjadi suatu insentif bagi efektivitas kepemimpin dalam melaksanakan fungsinya, sebab tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat memberikan basis legitimasi baik politis maupun legal bagi berjalannya suatu pemerintahan.

Pelaksanaan secara konsisten good governance juga memberikan insentif bagi pemimpin untuk tidak sendirian. Sebab jejaring kemitraan antara pemimpin pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan. Tidak saja dari aspek bersatunya ketiga sumber daya melalui kerjasama, namun memperkuat integritas, legitimasi, dan akuntabilitas suatu kebijakan.

Saran dan Rekomendasi
Mengakhiri paparan ini, saya ingin menyampaikan saran dan rekomendasi sebagai berikut;
- Konsistensi penerapan good governance dan terjaganya keseimbangan posisi hubungan publik dengan negara melalui proses komunikasi yang efektif, menjadi faktor signifikan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.
- Efektivitas komunikasi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, memerlukan pemilihan strategi yang cerdas dan bijak dalam penerapannya.
- Bagaimana peran masyarakat dan organisasi-organisasi seperti KOMWAS PBB dan lembaga-lembaga lainnya termasuk akademisi dan mahasiswa, untuk berkomitmen dalam menjaga dan merawat peningkatan kualitas fungsi pengawasannya secara kritis dan konstruktif. Sehingga dapat berfungsi tidak saja tempat kajian strategis dalam pengembangan pemerintahan yang baik dan bersih, namun dapat juga mengambil inisiatif dalam rekomendasi kebijakan publik.
- Sebagai aktor-aktor utama dalam sebuah sistem, pemerintah dan masyarakat harus menyadari fungsi kepemimpinannya. Sebab pemerintahan yang baik dan bersih dapat terwujud apabila terdapat kepemimpinan yang baik yang menjadi panutan dan mampu mengemas komunikasinya secara efektif.

Semoga bermanfaat bagi forum seminar dan bagi kemajuan bangsa negara tercinta.

Jakarta, 22 April 2006


Referensi:

D. Nugroho, Riant, Kebijakan Publik “Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004

Fiske, John, Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 1990

Kartawidjaya, Pipit, Pemerintah Bukan Negara, Rechtsfragen watchin.snafu.de, Watch Indonesia, Berlin, Jerman, 2006.

Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2004.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Himpunan Orasi Ilmiah Tahun 2001-2003, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta, 2004.

Ohmae, Kenichi, The Next Global Stage, Tantangan dan Peluang Dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan, Indeks-Gramedia Group, Jakarta, 2005

Pincus, Jonathan, R and Winters, Jeffrey, A, Membongkar Bank Dunia, Djambatan, Jakarta, 2004.

”Mewujudkan Partisipasi Publik Dalam Penyusunan Legislasi”

Sambutan

Konsultasi Publik dan Lokakarya RUU Administrasi Pemerintahan

Hotel Sofyan Betawi
Jakarta, 29 November 2006


Assalamuallaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang saya hormati,
Wakil dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Pihak yang mewakili GTZ-Support for Good Governance.
Para narasumber dan fasilitator, perwakilan Organisasi Non Pemerintah yang menjadi partisipan dalam acara Konsultasi Publik dan Lokakarya hari ini,

Syukur Alhamdulillah, kita bisa bersama-sama hadir dalam acara Lokakarya dan Konsultasi Publik hari. Acara ini semata-mata berangkat dari keinginan untuk mewujudkan partisipasi publik dalam proses legislasi, khususnya dalam Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

Satu hal mendasar yang melatarbelakangi penyusunan RUU ini adalah berangkat dari satu pertanyaan, yaitu: ”Dapatkah negara mewujudkan peran asasinya yaitu sebagai pihak yang mewakili publik, tidak mencederai, serta melindunginya dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan semata”. Menurut saya, pertanyaan ini menjadi sedemikian relevan untuk diajukan guna menguji, apakah RUU ini nanti dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Setelah sekian puluh tahun kita merdeka, bersama-sama membangun komitmen untuk mendewasakan bangsa ini, justru yang kita hadapi adalah sekian peristiwa yang tak terhitung lagi jumlahnya, drama perih yang harus diterima publik atas segala konsekuensi kekuasaan semata.


Lemahnya Manajemen Pemerintahan
Setidaknya, ada beberapa peristiwa aktual yang dapat saya ajukan guna mendukung hipotesis saya di atas. Pertama, penanganan bencana yang dalam kurun dua tahun ini mendera bangsa kita, dengan berbagai pengingkaran atas janji yang sebelumnya telah dinyatakan oleh wakil pemerintah kepada pengungsi dan korban. Kedua, fenomena penggusuran yang tidak lagi terjadi sekedar di Jawa. Tetapi mulai menyebar ke berbagai penjuru Indonesia (Padang, Medan, Manado, Makasar, dan seterusnya), dengan berbagai peristiwa kekerasan yang melatarinya. Ketiga, penanganan bencana lumpur panas Lapindo Brantas, yang hingga hari tidak juga tuntas. Alih-alih realisasi relokasi terpenuhi, malah sebaran lumpur panas makin meluas dan tidak kunjung tertanggulangi, bahkan beberapa titik baru semburan lumpur panas yang muncul. Keempat, data kemiskinan yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan, namun disampaikan secara berbalik. Terdapat sinyalemen bahwa terjadi ‘intervensi’ oleh pemerintah atas data akurat yang seharusnya dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan yakni BPS.

Dari empat ilustrasi di atas, apa yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan adalah; pengingkaran atas janji, penggunaan kekerasan, ketidaktegasan dari pemegang mandat kekuasaan, dan internal pemerintahan yang penuh dengan persilangan kepentingan pribadi maupun golongan. Hanya itu, tidak lebih.

Lantas apa perlindungan negara ketika publik dicederai hatinya oleh janji-janji yang tidak pernah ada realisasi, atau fisiknya oleh pentungan dan gas air mata aparat ketika menggusur rumah/tempat berdagang mereka. Secara telanjang, publik/masyarakat menyaksikan bahwa pemerintah yang berkuasa, hanya sekedar mengejar kepentingannya sendiri. Bukan memperjuangkan kepentingan masyarakat luas, khususnya masyarakat korban. Ini menandakan bahwa, begitu banyak pihak yang bekerja atas nama pemerintah, namun yang justru kita tonton adalah drama tentang absennya pemerintah. Secara fisik pemerintah ada di sana, tetapi tanpa menunaikan fungsi-fungsi asasinya secara memadai.

Negara Versus Pemerintah
Lantas dimana negara berada pada saat publik yang harusnya dilindungi dari segenap potensi kesewenang-wenangan kekuasaan berlangsung. Apakah dengan demikian dapat dinyatakan bahwa, negara yang secara operasional dijalankan oleh administrasinya telah ‘gagal’ mengemban misi utamanya. Seperti kita ketahui melalui paparan di atas, fakta menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pihak yang kita harapkan dapat memecahkan berbagai persoalan yang menimpa publik, ternyata hanyalah pihak yang berusaha mempertahankan kekuasaannya saja. Pemerintah, secara internal dipenuhi oleh kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Di satu sisi, mengemban mandat penegakan hukum, namun enggan menerapkannya pada kelompok-kelompok yang dulu memberi dukungan. Pengentasan kemiskinan, sebagai mandat yang lain ternyata program-program yang dijalankannya justru semakin menambah jumlah angka penduduk miskin di Indonesia.

Setelah mengetahui itu semua, lantas pada siapa publik dapat menyerahkan kepercayaannya. Kita mungkin sering memiliki persepsi bahwa pemerintah dan negara adalah sama, mereka menjelma ke dalam satu institusi. Padahal dibanyak negara yang menerapkan sistem hukum modern, negara menjadi pihak yang mewakili kepentingan publik. Tidak jarang dan seharusnya memang begitu, bahwa negara menjadi pihak yang berhadap-hadapan dengan pemerintah ketika terdapat suatu kebijakan yang dapat merugikan publik. Seperti apa yang diungkap oleh Dr. Risa Permanadeli (Kompas Sabtu 29 Juli 2006, hal 4 kolom Sosok dan Pemikiran), “Pemerintah dan Negara tidak satu. Negara harus berhadapan dengan kekuasaan (Pemerintah). Pemerintahnya bisa ganti-ganti, tetapi Negara tetap. Ia mewakili kepentingan seluruh elemen masyarakat”.

Negara sebagai Wakil Publik
Negara melalui administrasinya (pegawai negeri sipil) justru menjadi pihak yang seringkali menghindarkan publik dari berbagai beban atas suatu kebijakan. Administrasi negara menjadi pihak yang secara adil dan transparan menjembatani pertentangan kepentingan antara pemerintah dengan publik. Administrasi negara, pada batas-batas tertentu memiliki kewenangan untuk secara otonom dalam mengambil keputusan tanpa dapat di intervensi oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Sebagai contoh: keputusan pemberian suaka bagi 42 orang warga Papua oleh DIMA (Departemen Imigrasi Australia), menjadi fakta yang jelas betapa prosedur dan kewenangan yang dimiliki oleh DIMA dihormati dan tidak dapat diintervensi oleh kepentingan politik apapun, termasuk Perdana Menteri John Howard. Meskipun pada saat itu, terjadi ketegangan politis antar dua negara, dimana pemerintah Indonesia melakukan protes kepada pemerintah Australia. Yang terjadi di Indonesia, adalah sebaliknya dimana data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) tidak kuasa menolak intervensi pemerintah.

Seharusnya administrasi negara berlaku otonom, tanpa menunggu instruksi dari pemerintah. Misalnya pada saat penanganan bencana (baik tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir lumpur panas). Tanpa harus menunggu instruksi menteri atau presiden sekalipun, administrasi negara (instansi teknis; Satkorlak dan dinas-dinas terkait), secara otomatis mengambil tindakan-tidakan yang dapat secara efektif menanggulangi bencana. Namun, yang kita saksikan justru pejabat-pejabat pemerintah silih berganti mendatangi daerah bencana dengan berbagai media yang meliputnya, sekedar untuk mendapatkan publisitas semata. Kedatangan para pejabat di daerah bencana diiringi berbagai janji, untuk segera menangani masalah yang ada secara tuntas. Namun, janji tinggal janji, fakta di lapangan menunjukkan bahwa antar pejabat dan instansi lemah koordinasi. Kalau tidak, birokrasi yang ada tidak menjalankan tugasnya secara efektif dengan dalih masih menunggu dan belum ada instruksi. Padahal, birokrasi sebagai administrasi negara harusnya otonom melakukan perencanaan dan penanganan bencana secara efektif. Tanpa harus menunggu instruksi menteri (pejabat politis) ataupun presiden.

Esensi Good Governance; Kepentingan Publik Sebagai Orientasi Kebijakan
Perumusan dan pengelolaan kebijakan dewasa ini menuntut perubahan orientasi. Dari sekedar otoritas dalam melakukan alokasi dan distribusi sumber daya, menjadi berorientasi pada kepentingan publik atas suatu kebijakan. Fenomena lemahnya koordinasi antar instansi, balas pantun antar pejabat, dan lemahnya penegakan hukum dalam penanganan kasus-kasus di atas. Setidaknya menyadarkan kepada kita bahwa pemerintah dapat dikatakan gagal dalam memprioritaskan kepentingan publik yang harus diselamatkan. Demikian juga dengan, dalih kepentingan umum yang seringkali dipakai sebagai argumentasi, untuk membenarkan dilakukannya penggusuran dengan berbagai tindakan kekerasan.

Bukankah syarat dari negara hukum modern sekarang, berorientasi pada penggunaan prinsip-prinsip good governance sebagai landasan kerja negara-bangsa. Berbagai prinsip tersebut, saya yakin sudah kita kenal dan sering kita dengar, terutama bagi para penggiat demokrasi. Tetapi, pada tingkat operasional pemerintahan, paradigma tersebut masih jarang kita saksikan. Dasar kepentingan umum yang digunakan pada penggusuran PKL (pedagang Kaki Lima) sebagai contoh. Publik (dalam hal ini PKL), yang karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja membuat mereka secara kreatif mencari penghidupan tanpa mengandalkan pemerintah, justru menjadi pihak yang seringkali dirugikan. Dalih mengganggu ketertiban dan kepentingan umum menjadi dasar kuat bagi penggusuran atas kelompok ini. Padahal, bukankah kepentingan umum harusnya dapat dikenali secara lebih jelas dan bijak. Misalnya, bila terjadi penggusuran PKL maka mengakibatkan sejumlah orang yang dulunya bekerja menjadi kehilangan pekerjaan. Kepentingan umum yang seharusnya berlaku adalah akan ada sejumlah orang penganggur beserta keluarganya, yang harus menjadi beban anggaran negara. Namun, logika kepentingan umum ini justru absen dalam pertimbangan kebijakan dan penerapan eksekusi penggusuran.

Begitu juga asas kepercayaan yang tidak pernah dikenalkan baik konsep maupun aplikasinya. Asas ini mengasumsikan bahwa, jika muncul kebijakan baru maka kebijakan tersebut tidak berlaku surut. Hal ini memberikan insentif kepada publik untuk percaya terhadap suatu peraturan. Misalnya pada kasus PKL, setelah sekian waktu mendiami suatu lahan tanpa adanya larangan, bahkan tidak jarang diiringi penarikan retribusi. Maka asas kepercayaan yang berlaku adalah, publik percaya kepada negara, bahwa negara menganggap tindakan publik itu benar.

Oleh karena itu administrasi negara harusnya tidak sekedar berpikir dan mengambil tindakan untuk menggusur. Tetapi secara aktif mencarikan peluang melalui pemberian informasi yang cukup, agar para PKL dapat mengajukan pengurusan statusnya secara legal. Apabila dikemudian hari dibuat suatu kebijakan, PKL tidak serta merta dianggap ilegal dan patut digusur. Posisi ini membuat status PKL lebih setara dalam mencari titik temu dengan kebijakan yang dibuat oleh negara. Dan lebih penting lagi administrasi negara (dinas tramtib/pemda) benar-benar dapat menjadi wakil/abdi publik, dan secara otomatis menghindarkan publik dari potensi kesewenang-wenangan kekuasaan. Bukan seperti sekarang ini, dimana mereka seringkali terlihat garang ketika berhadapan dengan publik, seolah publik adalah lawan mereka. Ditengah segala kewenangan yang melekat pada diri birokrasi, maka apabila kewenangan tersebut digunakan secara optimal maka otomatis memperlihatkan bahwa, negara sama dengan mewakili kepentingan publik. Dengan kata lain aparat negara adalah abdi publik.

Secara esensi, prinsip-prinsip transparansi, penegakan hukum, akuntabitas, partisipasi publik dalam good governance akan dapat benar-benar terwujud melalui kesetaraan posisi antara publik dan negara. Bukankah good governance adalah tata kelola suatu pemerintahan, dimana muncul kepercayaan dari masyarakat terhadap otoritas yang dimiliki oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya, terjadi penghormatan atas hak-hak yang dimiliki masyarakat, untuk dipenuhi oleh pihak yang memerintah.

RUU Administrasi Pemerintahan; Kunci Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik dan Bersih
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih merupakan esensi dari good governance itu sendiri. Itu akan dapat tercapai apabila, terdapat keadaan dimana roda pemerintahan ditandai dengan absennya KKN, peningkatan mutu pelayanan publik, profesionalisme birokrasi yang arahnya sebagai abdi publik.

Di banyak negara yang menganut prinsip hukum modern, undang-undang prosedur administrasi negara/administrasi pemerintahan menjadi penentu utama, apakah negara tersebut berdasarkan kekuasaan semata atau tidak. Secara teknis-operasional, undang-undang prosedur administrasi ini merupakan tata krama negara ketika berhadapan dengan publik/masyarakat. UU prosedur administrasi ini menjadi perwujudan dari kongkretisasi prinsip-prinsip negara modern, termasuk di dalamnya adalah good governance.

Dengan prosedur administrasi, maka pemerintahan yang semata-mata berdasarkan kekuasaan secara otomatis akan terbatasi penggunaannnya. Kepentingan publik, bahkan individu menjadi prinsip utama dari bekerjanya suatu Administrasi Pemerintahan. Dengar Pendapat Pihak Yang Terlibat (pasal 19), Hak Melihat Dokumen Administrasi (pasal 20), dan Upaya Administratif (pasal 37) adalah sebagian instrumen yang dimiliki publik untuk menghindarkan diri dari kesewenang-wenangan. Prosedur administrasi ini mewujudkan hak nyata publik/individu, untuk secara sah berbeda pendapat atas suatu kebijakan yang dibuat oleh administrasi negara. Namun, publik juga harus memperhatikan ketentuan tentang Diskresi (pasal 1 ayat 8). Sebab, ketentuan ini berpotensi untuk mengecualikan hak-hak publik dalam pembuatan suatu keputusan administrasi.

Oleh sebab itu semua pihak harus menyadari bahwa negara kita sangat memerlukan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, yang saat ini sedang dalam pembahasan. Seyogianya Pemerintah dan DPR harus bersungguh-sungguh untuk membuat UU tersebut tidak dengan semangat setengah hati. Sementara itu publik harus memberi dukungan dan berkomitmen untuk mengawal, apakah hak-hak publik terakomodir dalam RUU tersebut. Terlebih penting lagi, apakah hak-hak tersebut dapat dikecualikan atau tidak.

Dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, maka salah satu prasyarat sistem administrasi yang mantap dapat terwujud dalam tata kelola pemerintahan NKRI.

Akhirnya, saya berharap agar forum ini dapat mengembangkan pikiran-pikiran konstruktif bagi kemajuan bangsa/negara khususnya bagi kemaslahatan rakyat yang masih menderita.

Sekian.
Terima kasih.
Wassalamualaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh



Ketua Dewan Pembina
KOMWAS PBB



H. Feisal Tamin
Pidato Kunci
Pada acara
Konsultasi Publik dan Loka Karya RUU Administrasi Pemerintahan
“Mewujudkan Partisipasi Dalam Penyusunan Legislasi”
Surabaya, 24 January 2007


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakathu
Yang saya hormati, para nara sumber
Saudara-saudara peserta, hadirin yang berbahagia

Syukur Alhamdulillah kita bisa bersama-sama hadir dalam keadan sehat wal afiat pada acara Lokakarya dan Konsultasi Publik hari ini, acara ini diselenggarakan semata-mata berangkat dari keinginan untuk mewujudkan partisipasi publik dalam proses legislasi, khsusnya dalam Rancangan Undang-undang Adminstrasi Pemerintahan.

Satu hal mendasar yang melatarbelakangi penyusunan RUU Administrasi Pemerintahan (RUU AP) adalah berangkat dari satu pertanyaan, yaitu ”dapatkah negara mewujudkan peran asasinya, yaitu sebagai pihak yang mewakili publik, tidak mencederai, serta melindunginya dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan semata” menurut saya, pertanyaan ini menjadi sedemikian relevan untuk diajukan guna menguji, apakah RUU ini nanti dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Sebagai suatu organisasi Civil society, Komwas Pbb sangat mendambakan terwujudnya suatu pemerintahan yang baik dan bersih yang didukung secara sinergi oleh komponen masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah. Itulah sebabnya kami terus mendorong hadirnya RUU AP sebagai dokumen administrasi dalam mewujudkan ”kontrak publik” antara negara dan rakyat. Rakyat dan negara sama-sama merupakan subjek hukum, sehingga rakyat dan negara berada dalam ”equal position” dimana keduanya tidak memiliki ruang untuk saling menghegemoni.

Lemahnya Manajemen Pemerintahan
Setelah sekian puluh tahun kita merdeka, bersama-sama membangun komitmen untuk mendewasakan bangsa ini, justru yang kita hadapi adalah begitu banyak drama perih yang mendera publik atas segala konsekuensi kekuasaan semata.
Setidaknya, ada beberapa peristiwa aktual yang saya ajukan guna mendukung hipotesis saya diatas. Pertama, penanganan bencana yang dalam kurun dua tahun ini mendera bangsa kita, dengan berbagai pengingkaran atas janji sebelumnya telah dinyatakan oleh wakil pemerintah kepada pengungsi dan korban. Kedua. fenomena penggusuran yang tidak iagi terjadi hanya di Jawa, tetapi sudah menyebar ke berbagai penjuru negeri (Padang, Medan, Manado, Makasar dan seterusnya), dengan berbagai peristiwa kekerasan yang melatarinya. Ketiga. penanganan bencana Lumpur panas Lapindo Brantas, yang hingga kini tidak juga tuntas. Alih-alih realisasi relokasi terpenuhi, malah sebaran Lumpur panas makin meluas dan tidak kunjung tertanggulangi. Keempat data kemiskinan yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan, namun disampaikan secara terbalik. Terdapat^ sinyalemen bahwa terjadi 'intervensi' oleh pemerintah atas data akurat yang seharusnya dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan yakni BPS.

Dari empat ilustrasi diatas, apa yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan adalah; pengingkaran atas janji, penggunaan kekerasan, ketidaktegasan dari pemegang mandat kekuasaan dan internal pemerintahan yang penuh dengan persilangan kepentingan pribadi maupun golongan. Hanya itu, tidak lebih.

Lantas apa perlindungan Negara ketika publik dicederai hatinya oleh janji-janji yang tidak pernah ada realisasi, atau fisiknya oieh pentungan dan gas air mata aparat ketika menggusur rumah/tempat berdagang mereka. Secara telanjang, publik/masyarakat menyaksikan bahwa pemerintah yang berkuasa, hanya sekedar mengejar kepentingannya sendiri. Bukan memperjuangkan kepentingan masyarakat luas, khususnya masyarakat korban. Ini menandakan bahwa, begitu banyak pihak yang bekerja atas nama pemerintah, namun yang justru kita tonton adalah drama tentang absennya pemerintah. Secara fisik pemerintah ada disana, tetapi tanpa menunaikan fungsi-fungsi asasinya secara memadai.

Negara versus Pemerintah
Lantas dimana negara berada pada saat publik yang harusnya dilindungi dari segenap potensi kesewenang-wenangan kekuasaan berlangsung. Apakah dengan demikian, bahwa negara yang secara operasional dijalankan oleh administrasinya telah ”gagal” mengemban misi utamanya. Seperti kita ketahui melalui paparan diatas, pakta menunjukan bahwa pemerintahan sebagai pihak yang kita harapkan dapat memecahkan berbagai pesoalaan yang menimpa publik, ternyata hanyalah pihak yang berusaha mempertahankan kekuasaannya saja. Pemerintahan, secara internal dipenuhi oleh kontradiksi di dalam dirinya. Di satu sisi mengemban mandat penegakan hukum, namun enggan menerapkannya pada kelompok-kelompok yang dulu memberi dukungan, pengentasan kemiskinan sebagai mandat yang lain ternyata program-program yang dijalankan justeru semakin menambah jumlah angka penduduk miskin di Indonesia.
Setelah mengetahui itu semua, lantas pada siapa publik dapat menyerahkan kepercayaannya. Kita mungkin sering memiliki persepsi bahwa pemerintah dan negara adalah sama, mereka menjelma manjadi satu institusi. Pada hal dibanyak negara yang menerapkan sistem hukum modern, negara menjadi pihak yang mewakili kepentingan publik. Tidak jarang dan seharusnya memang begitu, bahwa negara menjadi pihak yang berhadap-hadapan dengan pemerintah ketika terdapat suatu kebijakan yang dapat merugikan publik. seperti apa yang di ungkap Dr. Risa Permanadei (kompas sabtu 29 july 2006, hal 4 kolom sosok dan pemikiran), ”Pemerintah dan Negara tidak satu, Negara berhadapan dengan kekuasan (Pemerintah). Pemerintahannya bisa ganti-ganti, tetapi Negara tetap, ia mewakili kepentingan seluruh masyarakat.

Negara sebagai Wakil Publik
Negara melalui administrasi negaranya (pegawai negeri sipil) justru menjadi pihak yang seringkali menghindarkan publik dari berbagai beban atas suatu kebijakan. Administrasi negara menjadi pihak yang secara adil dan transparan menjembatani pertentangan antara pemerintah dengan publik. Adminstrasi negara, pada batas-batas tertentu memiliki kewenangan untuk secara otonom dalam mengambil keputusan tanpa dapat di intervensi oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Sebagai contoh; keputusan pemberian suaka bagi 42 orang warga Papua oleh DIMA (Departemen Imigrasi Australia), menjadi fakta yang jelas betapa prosedur dan kewenangan yang dimiliki oleh DIMA dihormati dan tidak dapat diintervensi oleh kepentingan politik apa pun, termasuk Perdana Menteri John Howard, meskipun pada saat itu, terjadi ketegangan politis antar dua negara, dimana di Indonesia melakukan protes kepada pemerintah Australia. Yang terjadi di indonesia malah sebaliknya dimana data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) tidak kuasa menolak intervensi Pemerintah.

Seharusnya adminstrasi negara berlaku otonom, tanpa menunggu instruksi dari pemerintah. Misalnya pada saat penanganan bencana (baik tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir lumpur panas), tanpa harus menunggu instruksi menteri atau Presiden sekalipun, administrasi negara (instansi teknis; satkorlak dan dinas-dinas terkait), secara otomatis mengambil tindakan-tindakan yang dapat secara efektif menanggulangi bencana. Namun, yang kita saksikan justru pejabat-pejabat pemerintah silih berganti mendatangi daerah dengan media yang meliputnya, sekedar untuk mendapatkn publisitas semata. Kedatangan pejabat di daerah bencana diiringi berbagai janji, untuk segera menangani masalah yang ada secara tuntas, namun janji tinggal janji, fakta dilapangan menunjukan antar pejabat dan instansi lemah koordinasi. Kalau tidak, birokrasi yang ada tidak menjalankan tugasnya secara efektif dengan dalih masih menunggu dan belum ada instruksi. Padahal, birokrasi sebagai adminstrasi negara harusnya otonom melakukan perencanaan dan penanganan bencana secara efektif, tanpa harus menunggu instruksi menteri (pejabat politis) ataupun Presiden.

Esensi Good Governance; Kepentingan Publik Sebagai Orientasi Kebijakan
Perumusan dan pengelolaan kebijakan dewasa ini menuntut perubahan orientasi. Dari sekedar otoritas dalam melakukan alokasi dan distribusi sumber daya, menjadi berorientasi pada kepentingan publik atas suatu kebijakan. Fenomena lemahnya koordinasi antar instansi, balas pantun antar pejabat, dan lemahnya penegakan hukum dalam penanganan kasus-kasus di atas. Setidaknya menyadarkan kepada kita bahwa pemerintah dapat dikatakan gagal dalam memprioritaskan kepentingan publik yang harus diselamatkan. Demikian juga dengan, dalih kepentingan umum yang seringkali dipakai sebagai argumentasi, untuk membenarkan dilakukannya penggusuran dengan berbagai tindakan kekerasan.

Bukankah syarat dari negara hukum modern sekarang, berorientasi pada penggunaan prinsip-prinsip good governance sebagai landasan kerja negara-bangsa. Berbagai prinsip tersebut, saya yakin sudah kita kenal dan sering kita dengar, terutama bagi para penggiat demokrasi. Tetapi, pada tingkat operasional pemerintahan, paradigma tersebut masih jarang kita saksikan. Dasar kepentingan umum yang digunakan pada penggusuran PKL (pedagang Kaki Lima) sebagai contoh. Publik (dalam hal ini PKL), yang karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja membuat mereka secara kreatif mencari penghidupan tanpa mengandalkan pemerintah, justru menjadi pihak yang seringkali dirugikan. Dalih mengganggu ketertiban dan kepentingan umum menjadi dasar kuat bagi penggusuran atas kelompok ini. Padahal, bukankah kepentingan umum harusnya dapat dikenali secara lebih jelas dan bijak. Misalnya, bila terjadi penggusuran PKL maka mengakibatkan sejumlah orang yang dulunya bekerja menjadi kehilangan pekerjaan. Kepentingan umum yang seharusnya berlaku adalah akan ada sejumlah orang penganggur beserta keluarganya, yang harus menjadi beban anggaran negara. Namun, logika kepentingan umum ini justru absen dalam pertimbangan kebijakan dan penerapan eksekusi penggusuran.

Begitu juga asas kepercayaan yang tidak pernah dikenalkan baik konsep maupun aplikasinya. Asas ini mengasumsikan bahwa, jika muncul kebijakan baru maka kebijakan tersebut tidak berlaku surut. Hal ini memberikan insentif kepada publik untuk percaya terhadap suatu peraturan. Misalnya pada kasus PKL, setelah sekian waktu mendiami suatu lahan tanpa adanya larangan, bahkan tidak jarang diiringi penarikan retribusi. Maka asas kepercayaan yang berlaku adalah, publik percaya kepada negara, bahwa negara menganggap tindakan publik itu benar.

Oleh karena itu administrasi negara harusnya tidak sekedar berpikir dan mengambil tindakan untuk menggusur. Tetapi secara aktif mencarikan peluang melalui pemberian informasi yang cukup, agar para PKL dapat mengajukan pengurusan statusnya secara legal. Apabila dikemudian hari dibuat suatu kebijakan, PKL tidak serta merta dianggap ilegal dan patut digusur. Posisi ini membuat status PKL lebih setara dalam mencari titik temu dengan kebijakan yang dibuat oleh negara. Dan lebih penting lagi administrasi negara (dinas tramtib/pemda) benar-benar dapat menjadi wakil/abdi publik, dan secara otomatis menghindarkan publik dari potensi kesewenang-wenangan kekuasaan. Bukan seperti sekarang ini, dimana mereka seringkali terlihat garang ketika berhadapan dengan publik, seolah publik adalah lawan mereka. Ditengah segala kewenangan yang melekat pada diri birokrasi, maka apabila kewenangan tersebut digunakan secara optimal maka otomatis memperlihatkan bahwa, negara sama dengan mewakili kepentingan publik. Dengan kata lain aparat negara adalah abdi publik.

Secara esensi, prinsip-prinsip transparansi, penegakan hukum, akuntabitas, partisipasi publik dalam good governance akan dapat benar-benar terwujud melalui kesetaraan posisi antara publik dan negara. Bukankah good governance adalah tata kelola suatu pemerintahan, dimana muncul kepercayaan dari masyarakat terhadap otoritas yang dimiliki oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya, terjadi penghormatan atas hak-hak yang dimiliki masyarakat, untuk dipenuhi oleh pihak yang memerintah.

RUU Administrasi Pemerintahan; Kunci Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik dan Bersih
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih merupakan esensi dari good governance itu sendiri. Itu akan dapat tercapai apabila, terdapat keadaan dimana roda pemerintahan ditandai dengan absennya KKN, peningkatan mutu pelayanan publik, profesionalisme birokrasi yang arahnya sebagai abdi publik.

Di banyak negara yang menganut prinsip hukum modern, undang-undang prosedur administrasi negara/administrasi pemerintahan menjadi penentu utama, apakah negara tersebut berdasarkan kekuasaan semata atau tidak. Secara teknis-operasional, undang-undang prosedur administrasi ini merupakan tata krama negara ketika berhadapan dengan publik/masyarakat. UU prosedur administrasi ini menjadi perwujudan dari kongkretisasi prinsip-prinsip negara modern, termasuk di dalamnya adalah good governance.

Dengan prosedur administrasi, maka pemerintahan yang semata-mata berdasarkan kekuasaan secara otomatis akan terbatasi penggunaannnya. Kepentingan publik, bahkan individu menjadi prinsip utama dari bekerjanya suatu Administrasi Pemerintahan. Dengar Pendapat Pihak Yang Terlibat (pasal 19), Hak Melihat Dokumen Administrasi (pasal 20), dan Upaya Administratif (pasal 37) adalah sebagian instrumen yang dimiliki publik untuk menghindarkan diri dari kesewenang-wenangan. Prosedur administrasi ini mewujudkan hak nyata publik/individu, untuk secara sah berbeda pendapat atas suatu kebijakan yang dibuat oleh administrasi negara. Namun, publik juga harus memperhatikan ketentuan tentang Diskresi (pasal 1 ayat 8). Sebab, ketentuan ini berpotensi untuk mengecualikan hak-hak publik dalam pembuatan suatu keputusan administrasi.

Oleh sebab itu semua pihak harus menyadari bahwa negara kita sangat memerlukan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, yang saat ini sedang dalam proses pembahasan. Seyogianya Pemerintah dan DPR harus bersungguh-sungguh untuk membuat UU tersebut tidak dengan semangat setengah hati. Sementara itu publik harus memberi dukungan dan berkomitmen untuk mengawal, apakah hak-hak publik terakomodir dalam RUU tersebut. Terlebih penting lagi, apakah hak-hak tersebut dapat dikecualikan atau tidak.

Dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, maka salah satu prasyarat sistem administrasi yang mantap dapat terwujud dalam tata kelola pemerintahan NKRI.

Akhirnya, saya berharap agar forum ini dapat mengembangkan pikiran-pikiran konstruktif bagi kemajuan bangsa/negara khususnya bagi kemaslahatan rakyat yang masih menderita.

Sekian.
Terima kasih.
Wassalamualaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh

Feisal Tamin

Ketua Dewan Pembina
KOMWAS PBB

REFORMASI BIROKRASI DALAM PENYELENGGARAAN GOOD LOCAL GOVERNANCE

Oleh: Feisal Tamin

Desentralisasi, merupakan aktivitas penyebaran kekuasaan (spreading of power), oleh pemerintah pusat kepada pemerintah hirarkhis dibawahnya. Persebaran ini ditandai dengan pembagian dan pelimpahan sebagian kekuasan, yang dulunya menjadi otoritas pusat kepada daerah. Proses ini menandai gelombang pelaksanaan otonomi daerah yang menjadi tuntutan masyarakat lokal.

Namun, tidak serta merta pelimpahan kekuasaan dan kewenangan itu terkelola dengan baik, dalam arti otonomi daerah otomatis sama dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal. Segala kewenangan untuk mengelola kekuasaan di daerah secara faktual juga menimbulkan banyak permasalahan. Gejala disorientasi kebijakan, abuse of power, meningkatnya kemiskinan, dan penguasaan berbagai aset ekonomi lokal oleh sebagian kecil elit di daerah menjadi masalah utama dalam penerapannya.



Gejala seperti disebut di atas mungkin dapat dikatakan sebagai bentuk kepesimisan pribadi, namun saya yakin banyak pihak juga merasakan hal yang sama. Tentu, hati kita semakin ciut melihat fenomena ini dalam refleksi kritis kita, apabila kita semua merasa bertanggung jawab untuk melakukan forecasting Indonesia di masa depan.

Pertanyaan penting bagi kita semua, apakah kita akan senantiasa larut dalam pikiran-pikiran pesimis semacam itu. Apa kontribusi yang dapat kita berikan untuk dapat merubah keciutan hati kita, menjadi lebih optimis dalam menatap prospek masa depan bangsa ini.

Keberhasilan Otonomi Daerah di Beberapa Wilayah; Pola dan Pilihan Strategis

Saudara-saudara,

Apa yang ingin saya paparkan dalam bagian ini, merupakah contoh dari beberapa daerah yang dianggap dapat mewakili keberhasilan penerapan good local governance. semoga dapat menggugah keoptimisan kita untuk memprediksi peluang masa depan Indonesia yang lebih baik.

Perlu diingat, bahwa keberhasilan beberapa daerah tersebut merupakan suatu proses yang tidak serta merta terjadi dalam kurun waktu satu dua tahun. Keberhasilan ini bukanlah taken for granted sebagai akibat dari diterapkannya kebijakan tentang desentralisasi ataupun otonomi daerah. Ini merupakan proses yang membutuhkan kerja keras dan koordinasi secara intens antara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Dimulai pada tahun 2001, koordinasi dan pengawasan pelaksanaan desentralisasi mendapatkan fokus utama pada masa pemerintahan Presiden Megawati, melalui Departemen Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada aspek peningkatan mutu pelayanan publik, sebagai Menteri PAN pada saat itu, ada beberapa kebijakan yang diterapkan untuk mencapai tujuan itu. Mulai dari surat edaran bagi lembaga-lembaga pelayanan publik dan instansi pemerintah untuk melakukan peningkatan mutu pelayanan publik. Penilaian terhadap pelayanan prima oleh instansi pemerintah dan BUMN, kampanye bulan pelayanan publik di tahun 2002, pemberian penghargaan bagi wilayah pelaku pelayanan publik, dan deklarasi tahun 2003 sebagai tahun pelayanan publik merupakan komitmen pemerintah pada saat itu.

Setelah sekian waktu, berbagai kebijakan yang memberikan insentif bagi daerah untuk secara kreatif, aktif, dan inovatif dalam rangka mencapai kemajuan wilayahnya mulai menunjukkan hasilnya. Meskipun keberhasilan tersebut, sangat ditentukan oleh berbagai pilihan-pilihan sumber daya yang ada dan strategi pencapaiannya. Ini semua dapat kita maklumi bersama, karena memang sumber daya baik dari sisi kualitas dan kuantitas memiliki keterbatasannya. Namun, justru disitulah letak tantangan dari tiap-tiap daerah untuk secara kreatif mengemas dan memilih strategi kebijakan publik, yang pada akhirnya menjadi khas dibanding wilayah-wilayah lain. Beberapa keberhasilan otonomi daerah dan pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik, saya ajukan sebagai contoh dengan berbagai polanya.

Setidaknya ada tiga pola yang menyertai keberhasilan beberapa daerah yang saya sebutkan dibawah. Meskipun saya meyakini, banyak daerah lain yang telah berhasil dalam mengelola wilayahnya. Kota Bandung, Bitung, beberapa kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, merupakan contoh-contoh bagaimana inisiatif dan kreativitas tata kelola pemerintahan berlangsung.



Pola Perumusan Kebijakan Melalui Partisipasi Publik

Kabupaten Jembrana Propinsi Bali telah dianggap berhasil membangun contoh pemberantasan korupsi, yang disertai dengan pemanfaatan APBD secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang diterapkan daerah ini, telah menginisiasi perubahan secara mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga menjadi kabupaten yang bisa memberikan berbagai pelayanan umum kepada masyarakatnya secara gratis. Beberapa pelayanan yang diberikan oleh kabupaten ini, antara lain:
- Pelayanan Medis, dokter dan pengobatan gratis kepada penduduknya melalui pembayaran premi asuransi oleh pemerintah daerah.
- Pemberian KTP secara gratis
- Premi asuransi jiwa
- Pembebasan PBB terutama untuk lahan-lahan yang produktif
- SPP yang dibayarkan oleh PEMDA, sehingga secara signifikan dapat mengurangi anak putus sekolah (lost generation).

Keberhasilan pelaksanaan kepemerintahan ini tak urung juga membuat beberapa kabupaten/kota lain ingin melaksanakan program yang sama, seperti; Kabupaten Sleman, Kabupaten Tanah Datar, dan beberapa lainnya. Beberapa keberhasilan kabupaten ini seperti yang didokumentasikan oleh Yayasan TIFA, berangkat dari keberpihakan perumusan orientasi kebijakan kepada:
1. Pengutamaan kebijakan pada bidang-bidang yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia
2. Pendidikan, melalui pelibatan partisipasi masyarakat (PGRI, Dewan Pendidikan, dan Dewan Adat)
3. Kesehatan, melalui pelibatan IDI (Ikatan Dokter Indonesia, dsb)
4. Peningkatan ekonomi, dan
5. Pemberantasan korupsi melalui pembentukan tim independen untuk standarisasi harga dan penentuan biaya pembelanjaan oleh Pemda.

Pola Penggunaan Teknologi Dalam meningkatkan Mutu Pelayanan Publik

Penerapan teknologi Informasi menjadi salah satu produk unggulan kabupaten Sragen Jawa Tengah dalam meningkatkan mutu pelayanan publiknya. Melalui sistem ini, koordinasi pemerintahan dapat dilakukan secara on line dengan wilayah-wilayah pelosoknya. Fasilitas teleconference dan internet, memudahkan koordinasi dan pengelolaan informasi kepemerintahan menjadi cepat, akurat, dan murah.

Salah satu indikator keberhasilan penerapan teknologi dalam pelayanan publiknya, pemerintah daerah membangun sistem pelayanan satu pintu dengan konsep One Stop Service melalui Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Berbagai pelayanan publik dipenuhi oleh mekanisme ini; KTP, surat nikah, investasi, IMB, Pembayaran Pajak, dsb. Bahkan ada beberapa pelimpahan kewenangan pemerintah kabupaten yang diserahkan pada wilayah kecamatan, dengan tujuan semata-mata mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik.

Melalui KPT, berbagai proses birokratisasi dapat dipotong menjadi lebih efisien, efektif dan transparan. Mekanisme ini juga mampu mengurangi secara signifikan potensi korupsi, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), dan mempersingkat waktu perijinan. Optimalisasi sistem ini, dapat menghemat proses perijinan dan sebagainya sebesar 30% (tiga puluh persen) dari rentang waktu yang telah ditetapkan sebelumnya (yaitu antara 5 hingga 12 hari).

Pola Orientasi Kinerja Aparatur, Pemberantasan Korupsi, dan Redistribusi Kesejahteraan

Kabupaten Solok, Sumatera Barat menjadi salah satu ikon daerah yang memiliki komitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi. Berangkat dari sikap dan komitmen pribadi untuk sedapat mungkin menghindari korupsi dan perilaku koruptif (misalnya: tidak menerima atau bertemu kontraktor proyek, menolak pemberian uang dan barang dsb). Sikap ini kemudian dilembagakan melalui pembenahan sistem, antara lain;
- Sistem perijinan, yang sebelumnya dikeluarkan oleh masing-masing instansi diubah menjadi satu pintu. Dimana tarif, batas waktu, dan mekanisme keluhan menjadi suatu informasi yang jelas.
- Mekanisme proyek tidak lagi sampai pada bupati, namun sepenuhnya ditangani oleh pimpro, dan pembayaran keuangan tidak dilakukan secara tunai (cash). Pembayaran biaya proyek dilakukan secara giro, untuk menghindari pemotongan oleh pejabat ataupun pemberian oleh penerima proyek.
- Peniadaan honor proyek dan mengubah sistem tunjangan daerah dalam rangka pemerataan penghasilan yang diperoleh para pegawai negeri. Sistem ini dapat mengumpulkan sekitar 14,5 milyar pada tahun 2004, yang kemudian dipergunakan bagi peningkatan kesejahteraan pegawai.

Adapun pembenahan lain yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Solok, secara keseluruhan dalam rangka penegakan aturan dan hukum, perilaku pejabat, disiplin pegawai negeri, kinerja aparat, dan kesejahteraan. Pembenahan ini juga ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi bagi para pelanggarnya, mulai dari pemecatan, non job, penurunan pangkat, dan penundaan pangkat dan gaji berkala.

Secara ringkas pola dan strategi seperti yang saya paparkan di atas tergambar dalam tabel di bawah ini:

Kabupaten Strategi Pelayanan Publik Sistem dan Mekanisme Lesson Learn

Jembrana Pola Perumusan Kebijakan Melalui Partisipasi Publik
- Pelayanan medis, dokter dan pengobatan gratis
- Pemberian KTP secara gratis
- Premi asuransi jiwa
- Pembebasan PBB untuk lahan produktif
- SPP yang dibayarkan oleh PEMDA - Sistem Asuransi dan Pendidikan yang dibayarkan oleh Pemda
- Keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan pemerintah - Perumusan orientasi kebijakan pada bidang-bidang yang menjadi kebutuhan mendasar
- Pelibatan elemen-lemen masyarakat dalam perumusan kebijakan publik
Sragen Pola Penggunaan Teknologi Dalam meningkatkan Mutu Pelayanan Publik
Kantor Pelayanan Terpadu:
- KTP
- Surat nikah,
- Investasi,
- IMB
- Pembayaran Pajak - Penggunaan teknologi informasi
- Sistem Kantor Pelayanan Terpadu
- Sistem jaringan on line pada jajaran aparatur
- Internet dan teleconference
- Pelimpahan beberapa kewenangan Kabupaten pada Kecamatan
- Penerapan teknologi informasi bagi peningkatan kualitas kinerja aparatur
- Pelimpahan kewenangan kepada kecamatan, membuat akses pelayanan publik menjadi lebih mudah dan murah
- Penerapan sistem yang tepat dapat menghemat sampai 30% waktu perijinan
Solok Pola Orientasi Kinerja Aparatur, Pemberantasan Korupsi, dan Redistribusi Kesejahteraan

- Sistem perijinan
- Mekanisme proyek dan sistem pembayaran
- Peniadaan honor proyek dan mengubah sistem tunjangan
- Perbaikan sistem peningkatan kesejahteraan - Sistem Pelayanan Satu Pintu Plus
- Kerjasama dengan PT Pos dan Giro dalam pelayanan publik - Kepemimpinan dan sanksi tegas, efektif meminimalisir korupsi
- Peningkatan kesejahteraan pegawai, meningkatan kinerja aparat
- Akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik yang cepat dan murah (melalui pos)

Penerapan otonomi dan good governance pada beberapa daerah diatas, setidaknya membuat kita lebih optimis menatap masa depan Indonesia. Mungkin baru tiga kabupaten yang terekam dengan baik catatan-catatan keberhasilannya. Tidak menutup kemungkinan, saat ini semakin banyak daerah-daerah lain yang juga turut mengaplikasikan model-model keberhasilan yang ada. Tentu strategi, keterbatasan sumber daya menjadi penentu atas pilihan model dan strategi yang akan diambil oleh masing-masing daerah.

Dari tiga daerah contoh yang dianggap cukup berhasil, dapat kita ambil beberapa pola dan strategi sebagai refleksi:
- Orientasi kebijakan yang memberikan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia (KTP, surat nikah, investasi, pendidikan, kesehatan dsb)
- Penggunaan sistem teknologi informasi yang secara akurat dapat memfasilitasi proses-proses koordinasi bagi aparatur pelayanan publik dan masyarakat sebagai penerima manfaat pelayanan
- Efisiensi dan penyederhanaan birokrasi pelayanan, telah meningkatkan mutu dari pelayanan itu sendiri. Baik aspek teknis, waktu, biaya, dan meredusir potensi penyimpangan
- Model kepemimpinan dan perbaikan sistem-budaya kerja aparatur telah meningkatkan kualitas kinerja dan peningkatan kesejahteraan para pelayan publik

Selain beberapa contoh praktis di atas, terdapat beberapa elaborasi kritis dari sisi konsep atas penerapan good governance yang perlu saya kemukakan. Ini semua bertujuan agar cara berpikir deduktif yang telah saya sampaikan dapat diuji secara konsepsi.

Good Governance; Kualitas Aparatur, Partisipasi Publik, dan Kepemimpinan

Saudara-saudara,

Sebagai suatu konsep besar yang kita idealkan bersama, tata kelola pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya beberapa karakter yang harus dipenuhi. Transparansi, akuntabilitas, partisipatif, penegakan hukum, dan penghormatan atas martabat-hak asasi manusia merupakan aspek-aspek penting yang menjadi tujuan dalam tata kelola tersebut.

Sebagai penerima mandat, pemimpin daerah memiliki peran signifikan dalam membuktikan komitmennya untuk menerapkan tata kelola pemerintahannya. Oleh karena itu, penerapan secara konsisten prinsip-prinsip good governance dapat menjadi trigger mechanism bagi berhasil tidaknya pengembangan segenap potensi-potensi daerah. Sebab, terbukti dan disertai data pendukung, bahwa beberapa daerah yang berhasil dalam tata kelola pemerintahannya telah secara signifikan mengoptimalkan mutu pelayanan publiknya, mengurangi potensi korupsi, dan meningkatkan kesejahteraan daerah.

Untuk mempermudah konsepsi tentang good governance, sebagai suatu refleksi kritis, saya menarik suatu kesimpulan melalui pertanyaan; apakah pemerintah tahu apa yang harus dikerjakannya dan apakah pekerjaan tersebut dilaksanakan secara efisien? Jadi sebenarnya good governance adalah masalah kepercayaan dan hal itu berkenaan dengan kontrol dan pengendalian atas segala sumber daya melalui kewenangan yang dimiliki, baik untuk mengalokasikan maupun mendistribusikannya.

Tentu, agar pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik dapat berjalan secara efektif, maka diperlukan faktor-faktor pendukung bagi keberlangsungannya. Kualitas aparatur, tidak berlebihan bila disebutkan sebagai salah satu faktor yang saya coba kupas dalam paparan berikut.

Kualitas Aparatur; Antara Harapan dan Kenyataan

Saudara-saudara,

Aparatur penyelenggara pelayanan publik, menjadi salah satu aktor penting dalam keberhasilan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik. Oleh karena itu kualitas sumberdaya aparatur sering kali menjadi kunci utama pada perbaikan tata pemerintahan di tingkat lokal. Rendahnya etos kerja, tingginya perilaku KKN yang pada tingkat tertentu dapat dikatakan terjadi secara sistematis. Lemahnya fungsi pengawasan internal dan tertutupnya akses publik dalam menilai kinerja aparatur menjadi persoalan yang cukup akut selama ini. Untuk itu, beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai rumusan dalam melakukan pembenahan SDM Aparatur, antara lain; disiplin, penggunaan prinsip meritokrasi dan budaya malu sebagai acuan peningkatan budaya kerja aparatur.

Budaya kerja penyelenggara layanan publik sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia (aparatur). Disiplin diri yang berwujud pada pengekangan, pengontrolan, pengendalian diri secara sadar dan bertanggungjawab atas jabatan dan kewenangan merupakan suatu tanda kematangan pribadi. Kemampuan dan kesadaran diatas menjadi satu tolok ukur penting bagi berlangsungnya pelaksanaan good governance dari sisi aparatur pelaksana. Karena itu, mentalitas positif tersebut harus menjadi arah dan tujuan setiap pembinaan dan pendidikan untuk SDM Aparatur.

Untuk itu diperlukan strategi yang secara konsisten diterapkan dalam rangka peningkatan tersebut melalui manajemen pemerintahan yang tepat;
- Proses rekruitmen aparatur yang berorientasi pada kompetensi/standar requirement (pendidikan, keahlian, dsb)
- Proses penempatan dan promosi personel yang memperhatikan aturan-aturan kepegawaian yang berlaku, baik horizontal maupun vertikal. Tidak saja memenuhi aspek kompetensi, namun pengalaman dan masa dinas.
- Menjauhkan segala potensi intervensi, baik politis maupun non politis dalam rangka mekanisme promosi aparatur.

Pemikiran ini saya anggap penting dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas dari sumber daya aparatur. Aspek keahlian, kemampuan teknis, perencanaan, dan kepemimpinan menjadi modal utama bagi aparatur dalam menjalankan tugas dan tantangan yang akan dihadapinya. Sebagai contoh, saya paparkan beberapa masalah yang dapat dianggap sebagai preseden buruk bagi upaya peningkatan kualitas aparatur;
- Rekruitmen, rendahnya kualitas kerja seharusnya didukung oleh mekanisme yang memfasilitasi negara untuk memperoleh aparatur yang handal. Namun, pengangkatan secara otomatis pegawai honorer (daerah) menjadi hambatan utama bagi tujuan tersebut. Seperti yang saya ketahui selama ini, para pegawai honorer ini sebenarnya sudah beberapa kali gagal pada saat mengikuti tes pengangkatan sebagai PNS. Dengan pengangkatan secara otomatis, maka kita akan mendapatkan kualitas SDM ’rendah’. Baik dari sisi kompetensi maupun usia produktif, padahal biaya negara seharusnya dapat dipakai untuk membiayai rekruitmen pegawai yang memenuhi kompetensi dan usia produktif.
- Penempatan dan promosi, baik horizontal maupun vertikal seharusnya menjadi suatu insentif bagi para aparatur untuk semakin meningkatkan profesionalitas dan kualitas aparatur. Namun, beberapa kasus justru berkebalikan dari apa yang diharapkan. Misalnya, kasus pengangkatan dan pemberhentian beberapa pejabat di departemen pertanian, menimbulkan gugatan oleh sebagian PNS. Para mantan pejabat eselon di departemen pertanian melakukan gugatan atas Surat Keputusan (SK Menteri Pertanian No. 422/KPTS/KP.330/11/2005 ”Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Eselon”). Gugatan keabsahan SK Menteri karena dianggap melanggar prinsip-prinsip kepegawaian dan aturan-aturan karier Pegawai Negeri Sipil. Saat ini gugatan sedang berlangsung dan dalam proses persidangan di PTUN. Terlepas hasil pengadilan nantinya, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat yang dimenangkan atau dikalahkan. Namun terdapat beberapa ketentuan kepegawaian yang memang terlanggar. Preseden ini menjadi suatu dis-insentif bagi seseorang yang berkarir sebagai PNS, karena pada akhirnya rawan adanya diintervensi. Masalah serupa juga disinyalir terjadi pada beberapa departemen dan daerah lain.


Kepemimpinan; Melawan Arus Tidak Selalu Sia-sia

Saudara-saudara,

Persoalan tata kelola pemerintahan dewasa ini membutuhkan berbagai kombinasi agar dapat mencapai tujuan. Siapa yang tampil untuk memimpin sebagai pelaku perubahan yang utama, menjadi aspek penting bagi suatu kemajuan. Dalam suatu situasi yang mengenal ketidakpastian seperti sekarang ini, pemimpin harus mampu mengubahnya menjadi suatu kepastian yang dapat dikalkulasi. Salah satu jalan untuk itu adalah dengan mendapatkan informasi lebih banyak. Pemimpin yang baik harus mendapatkan informasi sebaik mungkin dan akurat mengenai dunia sekitarnya.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki cinta dan gairah terhadap inovasi, sebab kecintaan dan kegairahan tersebut akan mendukung peningkatan kreativitasnya. Tidak saja terhadap berbagai inovasi atas kebijakan-kebijakan baru yang dibuatnya, namun juga bagaimana secara kreatif dan cerdas mengkomunikasikan kreasinya kepada khalayak. Sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat secara jelas tertangkap dan menimbulkan respon positif.

Keberanian seorang pemimpin harus digunakan sebagai penegas, guna menepis berbagai kekuatiran atas hilangnya kekuasaan pemerintahan masa lalu yang absolut, sebagai konsekuensi dari penerapan pemerintahan yang baik dan bersih secara konsisten dengan berbagai prinsip-prinsipnya. Cara pandang ini harus dibalik menjadi suatu insentif bagi efektivitas kepemimpin dalam melaksanakan fungsinya, sebab tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat memberikan basis legitimasi baik politis maupun legal bagi berjalannya suatu pemerintahan.

Pelaksanaan secara konsisten good governance juga memberikan insentif bagi pemimpin untuk tidak sendirian. Sebab jejaring kemitraan antara pemimpin pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan. Tidak saja dari aspek bersatunya ketiga sumber daya melalui kerjasama, namun memperkuat integritas, legitimasi, dan akuntabilitas suatu kebijakan.

Para hadirin yang berbahagia,

Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan dalam waktu yang terbatas ini. Melalui fakta-fakta yang ada, setidaknya kita dapat lebih optimis menatap masa depan bangsa negara kita tercinta. Hal lain yang juga perlu kita renungkan adalah, agar kita baik individu, kelompok, maupun pemimpin yang hadir di forum ini dapat lebih termotivasi dan meyakini bahwa berbuat baik tidaklah selalu sia-sia. Semoga dapat bermanfaat bagi para hadirin sekalian dan bangsa tercinta.

BANDUNG, 18 MEI 2006