Otonomi Birokrasi dan RUU Administrasi Pemerintahan

Suatu ketika, karena tidak sesuai dengan aturan yang ada, penolakan ijin ivestasi akan dilakukan oleh instansi atau administrasi pemerintahan. Oleh karena penolakan ijin, masuk kategori keputusan yang memberatkan atau bersifat menjatuhkan beban. Maka, instansi bersangkutan mengirimkan surat resmi kepada pemohon.

Demikian surat instansi tersebut; berdasarkan peraturan investasi yang ada, permohonan saudara tidak dapat kami penuhi. Oleh karena itu kami akan menolak permohonan tersebut. Namun, sebelum keputusan yang sifatnya memberatkan dijatuhkan, kami berkewajiban melakukan dengar pendapat dan memberikan kesempatan kepada saudara untuk mengungkapkan fakta dan dokumen terkait yang dimiliki saudara. Sehingga kami dapat mengubah ataupun membatalkan rencana keputusan kami tersebut. Sebagai lampiran, kami sertakan alasan-alasan penolakan dan aturan yang bertentangan dengan permohonan saudara. Sebelum menanggapi surat dengar pendapat ini, saudara berhak melihat dokumentasi administrasi pemerintahan dan berkas acara pemeriksaan terkait, agar dapat mengetahui bagaimana kami mengambil keputusan. Saudara dapat memberikan jawaban secara tertulis atau lisan.

Ilustrasi di atas sebenarnya hanya fiksi belaka, namun memperlihatkan kesetaraan posisi antara publik dengan administrasi pemerintahan. Kesantunan, prosedur, dan tindakan administrasi pemerintahan menjalankan fungsi pelayanan, agaknya langka dalam birokrasi di Indonesia. Pertama, budaya birokrasi yang selama ini menganggap posisinya lebih tinggi dari pada publik. Kedua, warisan lama birokrasi yang belum tersentuh banyak perubahan, dimana seringkali perintah atasan menjadi dasar pengambilan keputusan. Dan ketiga, karena tidak ada aturan kongkrit yang mewajibkan administrasi pemerintahan memenuhi hak-hak publik (pihak terlibat) tersebut.

Reformasi Birokrasi=Otonomi

Seringkali pengambilan keputusan administrasi pemerintahan terhadap masalah atau permohonan yang diajukan masyarakat, terhambat justru oleh rentang kendali internal birokrasi itu sendiri. Belum ada perintah atasan, pengabaian prinsip pengedepanan hukum, dan tidak jarang faktor suka tidak suka justru menjadi dasar bagi turunnya suatu keputusan.

Jika beberapa alasan di atas yang sering digunakan, dapat dibayangkan keputusan administrasi pemerintahan tentunya bersifat informal dan melalui cara lisan, bukan tertulis sebagaimana seharusnya keputusan resmi suatu instansi. Tentu saja pada akhirnya menyulitkan pihak terlibat, karena keputusan tersebut hanya berasal dari satu sisi saja, yaitu administrasi pemerintahan. Kedua, menutup kesempatan pihak terlibat untuk mengajukan keberatan terhadap instansi bersangkutan, maupun instansi hukum yang ada, seperti PTUN.

Oleh karena itu upaya mereformasi birokrasi, seharusnya ditempuh dengan cara pemberian payung hukum yang tegas bagi terciptanya perubahan itu sendiri. Pembatasan kewenangan dan kekuasaan, batasan waktu pengambilan keputusan, tanggungjawab dan distribusi kewenangan, serta kewajiban untuk memenuhi hak pihak terlibat dalam proses dan prosedur pengambilan keputusan haruslah menjadi tujuan yang utama.

Apabila masalah di atas dapat dipenuhi, maka birokrasi dapat bekerja secara otonom berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh payung hukum yang ada. Demikian juga dengan hak pihak terlibat, yang menjadi kewajiban administrasi pemerintahan untuk memenuhinya, tanpa kuatir akan kehilangan perannya. Justru harus dilihat sebaliknya, karena kewajiban ini membuat interaksi yang lebih transparan antara pihak terlibat dengan pengambil keputusan.

Pada sisi lain, otonomi birokrasi melalui distribusi kewenangan dalam mengambil keputusan, tidak saja berdampak mengurangi rentang birokrasi. Lebih dari itu, semakin meningkatkan kualitas dan mengarahkan korps birokrasi menjadi lebih profesional, oleh karena bebas intervensi. Tidak kalah penting, otonomi melalui payung hukum yang jelas, memberikan kepastian hukum bagi aparat birokrasi. Banyak kasus yang terjadi pada saat ini, dimana aparat birokrasi yang mengikuti perintah atasan justru dipidana.

Reformasi Birokrasi via RUU Administrasi Pemerintahan

Setelah 60 tahun Indonesia merdeka, berbagai masalah di internal birokrasi seperti yang disebut di atas baru akan terjawab. Aspirasi berupa tuntutan dan dukungan reformasi birokrasi yang berkembang, baik dari masyarakat maupun internal birokrasi. Setidaknya coba dijawab oleh Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP).

Melalui RUU ini, beberapa instrumen yang disediakan bagi pihak terlibat; Hak Dengar Pendapat dan Hak Melihat Dokumen Administrasi (pasal 19 dan 20). Bahkan keraguan terhadap “netralitas” pejabat yang menangani (pasal 14), mewajibkan administrasi pemerintahan untuk memenuhinya. Melalui instrumen ini, prinsip partisipasi dan kesetaraan posisi publik dengan administrasi pemerintahan, terwujud dalam prosedur pengambilan keputusan administrasi pemerintahan. Praktis, RUU AP mensubyektivikasi hubungan negara dengan publik. Setiap pihak terlibat harus dianggap serius dan tidak boleh menjadi obyek kebijakan dan kekuasaan semata. Karena itulah, dalam setiap prosedur administrasi pemerintahan, setiap individu/publik harus disertakan dan diberi perlengkapan seperti yang diatur dalam pasal-pasal RUU AP.

Pengedepanan prinsip hukum dalam pengambilan keputusan, menjadi isu terpenting dalam RUU ini. Dimana pengambilan dari suatu keputusan wajib didasarkan pada hukum yang ada, dan tertulis atau dokumen resmi. Sehingga aspek transparansi benar-benar akan terwujud, baik bagi administrasi negara itu sendiri maupun pihak terlibat penerima keputusan.

RUU AP, sekaligus membongkar mitos bahwa warga negara harus patuh terhadap keputusan administrasi pemerintahan. Instrumen Upaya Administratif melalui internal instansi bersangkutan, dan Gugatan melalui PTUN (pasal 37 dan 39). Memberikan kesempatan bagi warga negara untuk “bersengketa” secara sah atas keputusan yang dianggap merugikan.

Dahsyatnya aturan ini mengakselerasi potensi penciptaan birokrasi pemerintahan yang berkualitas, sekaligus mengurangi KKN. Menyisakan pertanyaan besar, baik kepada pemerintah maupun DPR. Apakah RUU ini menjadi prioritas untuk segera dibahas?

August Mellaz
Koordinator Advokasi Kebijakan
Koalisi Masyarakat untuk Pengawasan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (KOMWAS PBB).

1 comment:

watekagabriel said...

Casinos near MOHEGAN Casino, Atlantic City - KTNV
There is not much 제주 출장마사지 to 동두천 출장안마 see on the map in Atlantic City that doesn't look like 의정부 출장안마 Atlantic 원주 출장마사지 City. Here you can find 정읍 출장안마 the cheapest hotel rooms in the area,